Fatwa Haram Lagu Berlirik Amoral (1)

 
Pada intinya bahwa musik tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Musik sangatlah terkait erat dengan segi-segi atau nilai-nilai sosial kehidupan lainnya, seperti spritualitas, moralitas, ataupun ketahanan budaya. Jadi adalah keliru apabila musik hendak dipisahkan dari segi-segi kehidupan lainnya.

Karena musik (lagu) itu sendiri tak bedanya seperti bahasa, suatu artikulasi rangkaian bunyi yang bermakna lebih dari sekadar bunyi yang didalamnya mengungkapkan sebuah pesan. Tak heran bila kemudian disebutkan bahwa musik mengambil peran cukup penting dalam kehidupan. Itu sebabnya bukanlah tidak mungkin jika jiwa suatu masyarakat atau bangsa dapat dipelajari dari watak musiknya.Tinggal bagaimana mengintegrasikan musik sebagai karya kesenian dalam kegiatan besar manusia yang bernama kebudayaan, dan bidang kehidupan lainnya, seperti moralitas, kepribadian, pendidikan, ketauladanan, atau sebagai ketahanan budaya.

Di sini pula kita bisa menangkap bahwa sebagai refleksi seni, sebuah musik juga tak luput dari pemahaman menyangkut perasaan, alam pikiran, alam imajinasi, maupunalam kesadaran manusia akan nilai-nilai sosial dan kehidupan. Hal ini menunjukkan pada kita bahwa peran musik tidak boleh dianggap sepele. Tinggal bagaimana menempatkan kehadiran musik itu sendiri dalam kehidupan masyarakat, apakah hanya dinikmati tak lebih sebagai kesenangan hiburan semata atau diperuntukkan buat kebajikan dan kemuliaan.Jadi, sebegitu pentingnyaperan musik dalam kehidupan, karena tinggi-rendahnya peradaban suatu masyarakat dapat dilihat dari watak musiknya.

Karena pada dasarnya sebuah karya musik atau lagu bukan terhenti sebagai pengalaman bathin atau luapan ekspresi jiwa personal sang pencipta lagu, tapi pada gilirannya juga bisa berkembang menggugah imajimasi, khayalan, fantasi, yang pada akhirnya mampu menjadi inspirasi yang dapat membangunkan, membangkitkan kesadaran pendengarnya, penikmatnya. Kesadaran inilah yang pada akhirnya berkembang sebagai gerak dialektis. Karena pada dasarnya setiap manusia punya potensi berpikir dialektis.

Sebagaimana, apa yang ada dibenak kita; fantasi apa yang terbayang di alam pikiran kita; getaran jiwa apa yang berdenyut di nadi kita setiapkali mendengarkan, menyanyikan lagu Indonesia Raya (WR Supratman), atau lagu bernuansa kebangsaan lainnya? Nyatanya lagu-lagu yang diciptakan zaman perjuangan pergerakan kemerdekaan yang sarat dengan spirit kebangsaan, patriotisme, heroik, mampu menjadi perekat sosial, yang pada akhirnya mampu membangunkan kesadaran dan spirit rakyat Indonesia untuk bangkit berjuang melepaskan diri merebut kemerdekaan dari cengkeraman tangan penjajah, kolonialis.

Begitu pula apa yang ada dibenak kita ketika mendengarkan rekaman lagu Kebyar-Kebyar (Gombloh), Negeriku Cintaku (Keenan Nasution), Nyanyian Tanah Merdeka (Leo Kristi), Merah Putih (Tyas D), Indonesia (Franky Sahilatua), atau Bendera-nya Cokelat. Lalu apa pula yang kita rasakan ketika mendengarkan lagu macam Tuhan-nya Bimbo, Damai BersamaMu (Johnny Sahilatua), Akhirnya (GIGI), atau Andai Kutahu (Ungu). Atau apa yang kita bayangkan dari kehidupan di dunia ini ketika mendengarkan lagu Rumah Kita (God Bless), Panggung Sandiwara (Ian Antono & Taufik Ismail),atau Kemesraan (Franky &JohnnySahilatua). Semua itu akan menuntun dalam benak kita memasuki ruang-ruang bawah sadar kita pada satu realitas imanjinasi kehidupan.

Dari contoh lagu di atas, tinggal bagaimana kita menginterpretasikan makna dari berbagai simbol-simbol bahasa ekspresif tersebut. Musik sebagai bahasa ekspresif, selain sifatnya yang personal keberadaannya juga bisa mewakili unsur lahir dan batin, baik bermakna individualis maupun kolektif. Dari simbol-simbol yang tereskpresikan dalam bahasa musik, orang dapat menetapkan tinggi dan rendahnya derajat estetika, kepribadian, moralitas dan intelektualitas seseorang. Karena kesenian itu sendiri adalah ekspresi hasrat hidup.

Lalu bandingkan, fantasi-fantasi apa yang berkeliaran di alam pikiran kita ketika mendengarkan lagu-lagu yang liriknya bertemakan cinta birahi atau perselingkuhan, macam Surti Tejo (Jamrud), Sephia (Sheila On 7) Teman Tapi Mesra, Lelaki Buaya Darat (Ratu), Jablay (Titi Kamal), Impas (Rossa), Mari Bercinta (Aura Kasih), Kekasih Gelapku (Ungu), Ketahuan (Matta), Madu Tiga (Ahmad Dhani), Selingkuh dan Yolanda (Kangen Band), Keong Racun, Cinta Semalam (Malinda), Hamil Duluan (Tuty Wibowo) yang secara komersial laris manis di pasaran. Sampai anak kecilpun hafal di luar kepala lagu-lagu tersebut, karena tiap hari dicekoki, diracuni oleh visualisasi tayangan klip maupun penampilan sang artis di jam siar prime time di layar kaca televisi. Atau yang menyusup di telinga lewat RBT.

Atau simak di lirik lagu Hamil Duluan-nya Tuty Wibowo; Awalnya aku cium-ciuman / Akhirnya aku peluk-pelukan / Tak sadar aku dirayu setan / Tak sadar aku kebablasan / Aku hamil duluan sudah tiga bulan / Gara-gara pacaran tidurnya berduaan / Aku hamilduluan sudah tiga bulan / Gara-gara pacaran suka gelap-gelapan / O ow aku hamil duluan / O ow sudah tiga bulan...

Dari contoh lagu tersebut, musik yang diharapkan mampu memainkan peran memberi pengkayaan bathin, spiritualitas maupun untuk menjaga moralitaskini sudah teralienasi. Semuanya sudah direduksi, dimandulkan, dan tergerus oleh kepentingan ideologi industri kapitalis. Sehingga musik kehilangan makna dan auranya, tidak lagi mencerminkan karakter dan kepribadian nilai-nilai pada umumnya. Bahkan telah terjadi pelanggaran yang sudah melampaui rambu-rambu etika moralitas dan bukan tabu lagi.

Kini, bersamaan dengan berkuasanya industri media massa, perhatian kita telah dialihkan dari pencarian nilai-nilai transendental, spiritual, moral menuju penikmatan nilai-nilai komoditas yang dipertunjukkan sebagai tontonan komoditi di atas panggung hiburan kapitalisme.Sementara apa yang disebut tabu yang berfungsi memberikan rambu-rambu mengenai apa yang pantas, yang kurang pantas, dan yang tidak pantas dilihat, dilakukan atau direpresentasikan melalui image dan objek-objek di dalam satu sistem sosial sudah diterabas. Batas norma etis tidak ada lagi.

Mengendurnya nilai moralitas, melemahnya nilai tabu, dan merosotnya nilai spiritual telah membuka bagi berkembangnya bentuk-bentuk kebudayaan dan seni yang telah menyimpang dari apa-apa yang normal, yang etis, yang intelek, yang estetis.Bahkan pelangggaran tabu kini sudah tidak lagi dianggap sebagai dosa, akan tetapi sebaliknya, menjadi satu bentuk kesenangan dan kenikmatan. Tanpa filterisasi sensor.

Ataukah saat ini kita sebagai bangsa dan masyarakat yang menjunjung tinggi norma agama, nilai-nilai kesusilaan dan moralitas memang telah terjadi pergeseran nilai, di mana semakin maraknya lagu-lagu mengangkat tema lirik yang mengumbar ekstasi cinta birahi dan perselingkuhan kini telah menjadi refleksi sosial dari nilai-nilai sosio kultural yang ada dan hidup di dalam masyarakat kita saat ini.

Jelas, kalau seandainya lagu-lagu berlirik mengumbar ekstasi cinta birahi atau perselingkuhan ini tidak edukatif, bertentangan dengan norma agama atau nilai adab kesusilaan, dan dianggap sebagai amoral, sudah selayaknya lagu macam ini difatwakan haram. Karena jelas lagu macam ini tidak edukatif, asusila, amoral, dan bertentangan dengan norma agama, serta berdampak buruk terhadap prilaku sosial. Sebagaimana dikeluarkannya fatwa haram terhadap tayangan infotainment, penyalagunaan narkoba atau rokok oleh institusi Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU), atau Muhammadiyah, karena hal ini dianggap berdampak buruk terhadap prilaku sosial dalam kehidupan masyarakat.

Sudah selayaknya pula, kini dengan semakin maraknya musik (lagu) Indonesia yang liriknya amoral untuk dipertimbangkan difatwakan haram. Karena yang jelas lagu macam itu tidak edukatif, bertentangan dengan nilai kesusilaan, dan berdampak buruk terhadap prilaku sosial dalam kehidupan masyarakat. Semoga!
(Alex Palit, pemerhati musik, anggota Forum Apresiasi Musik Indonesia)TRIBUNnews.com
sunnah

blog copas