Lafadz Nikah

 
Pertanyaan:


Assalamu’alaikum,

Apa dalam menikah harus ada suatu lafadz tertentu yang harus diucapkan? Jazakumullah khairan.





Jawaban Ustadz:

Jumhur ulama berpendapat bahwa semua lafazh yang menunjukkan arti “menikahkan” boleh digunakan oleh seorang wali ketika menikahkan perempuan yang menjadi perwaliannya dan pernikahan tersebut sah hukumnya, berdasarkan hadits shahih riwayat Al Bukhari (9/256-257 – Fathul Baari, cet. Daarus salaam) dan Muslim (2/1040) dari Sahl bin Sa’d As Saa’id rodhiallohu ‘anhu tentang kisah wanita yang menghibahkan (menyerahkan) dirinya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk dinikahi, kemudian salah seorang sahabat meminta kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk menikahkannya dengan wanita tersebut,

dan Beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam pun menikahkannya dengan mahar mengajarkan Al Quran kepada wanita tersebut.

Dalam riwayat-riwayat hadits tersebut Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menikahkannya dengan lafazh yang berbeda-beda, ada riwayat dengan lafazh: “zawwajtukaha”, dalam riwayat lain: “ankahtukaha”, juga dalam riwayat lain: “mallaktukaha”, juga: “amkannaakaha”, yang semua artinya kurang lebih sama yaitu: “Aku telah menikahkan kamu dengan wanita tersebut”.

Meskipun sebagian dari para ulama -seperti Ibnu Daqiiqil ‘Ied- mengatakan bahwa yang benar dalam riwayat-riwayat tersebut adalah salah satu dari lafazh-lafazh tersebut yang diucapkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan bukan semuanya, karena kisahnya cuma terjadi sekali dan semua jalur riwayat-riwayat hadits ini bertemu pada seorang perawi (yang menunjukkan bahwa hadits tersebut satu meskipun jalur-jalurnya banyak), sehingga harus dipilih mana di antara riwayat-riwayat tersebut yang lebih kuat. Imam Abul Hasan Ad Daaraquthni mengatakan bahwa yang benar dari riwayat-riwayat tersebut adalah lafazh “zawwajtukaha”, karena jumlah perawinya lebih banyak dan lebih kuat hafalannya dibandingkan yang lain, dan pendapat ini juga yang cenderung dipilih oleh Ibnu Hajar Al ‘Asqalaani dan ulama-ulama lainnya. Maka berdasarkan ini, lebih utama jika seorang wali sewaktu menikahkan menggunakan lafazh ini (zawwajtukaha), karena lafazh ini lebih kuat dan lebih shahih riwayatnya dibandingkan riwayat-riwayat lainnya. Wallahu a’lam.

Dalam hadits ini juga terdapat dalil yang menunjukkan bahwa tidak wajib bagi laki-laki yang dinikahkan untuk menjawab: “Aku terima nikahnya wanita tersebut”, karena tidak ada satu jalur pun dari riwayat-riwayat hadits ini yang menyebutkan bahwa sahabat tersebut menjawab demikian ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menikahkannya, dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengharuskan sahabat tersebut untuk menjawab demikian. Akan tetapi kondisi yang disebutkan dalam hadits ini berlaku bagi orang yang telah jelas dari sikapnya tanda-tanda yang menunjukkan bahwa dia menerima pernikahan tersebut dan tidak menolaknya, apalagi jika dia sendiri yang meminta dinikahkan seperti dalam hadits di atas. Adapun kalau belum jelas apakah laki-laki tersebut menerima/atau tidak pernikahan tersebut, maka harus ada ucapan darinya bahwa dia menerima pernikahan tersebut, agar pernikahan tersebut sah hukumnya.

Demikian pula hadits ini menunjukkan bahwa sahnya akad nikah tidak disyaratkan harus didahului dengan khutbah nikah (khutbatul haajah), karena tidak ada satu jalur pun dari riwayat-riwayat hadits ini yang menyebutkan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan khutbah sebelum menikahkan sahabat tersebut, kalau seandainya itu merupakan syarat/kewajiban, tidak mungkin Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam akan meninggalkannya .

Adapun menyebutkan mahar sewaktu akad nikah, maka Syaikh Muhammad bin Shaleh Al ‘Utsaimin dalam “As Syarhul Mumti’” mengatakan bahwa ini hukumnya sunnah (anjuran) dan tidak diwajibkan, bahkan jika di suatu daerah tertentu misalnya penyebutan mahar dianggap sebagai sesuatu yang tabu atau terkesan seperti membeli budak, maka dalam kondisi seperti ini mahar tidak perlu disebutkan, beliau berdalil dengan keumuman firman Allah ta’ala:

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan pergaulilah istri-istri kalian dengan cara yang baik (patut).” (QS. An Nisaa’: 19)


***


Penanya: Rama

Dijawab Oleh: Ustadz Abdullah bin Taslim
Sumber: muslim.or.id
Readmore...

Hukum Photo Pada Website

 
Dijawab oleh Ustadz Zainal Abidin, Lc. (Staf Ahli Syariah Majalah Pengusaha Muslim)

Pertanyaan :

Assalamu’alaykum ustadz

Bagaimana hukum foto yang ada biasa kita lihat di website-website? Karena asalnya dari foto, bukan video.

Jika hal tersebut dibolehkan bagaimana dengan hukum memfoto?


Jawaban :

Sudah menjadi ketetapan hukum Islam bahwa melukis gambar makhluk bernyawa baik manusia, hewan ataupun serangga hukumnya haram. Begitu juga memajangnya dan menyimpannya, karena para malaikat rahmah tidak akan memasuki rumah yang ada gambar makhluk bernyawa meskipun hanya tersimpan di album

untuk kenang-kenangan dan memori keluarga. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda: “Setiap pelukis (makhluk bernyawa) di neraka dijadikan untuknya bagi setiap gambar yang dia lukis jiwa yang tersiksa karenanya di neraka Jahannam”. (H.R. Muslim)

Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam menegaskan: “Manusia yang paling berat siksaannya adalah mereka yang menandingi dalam ciptaan Allah”. (H.R Bukhari dan Muslim).

Sementara gambar yang tidak bernyawa dibolehkan berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam bahwa Allah subhanahu wata’ala berfirman (yang artinya): “Dan Siapakah manusia yang paling dzalim daripada orang yang berusaha menciptakan suatu ciptaan seperti ciptaan-Ku, hendaklah menciptakan jagung atau menciptakan biji-bijian atau menciptakan gandum”. (H.R. Bukhari dan Muslim).

Dengan demikian gambar-gambar yang diharamkan hanyalah lukisan yang dihasilkan oleh tangan manusia secara langsung. Adapun gambar yang dihasilkan oleh kamera maka terdapat perbedaan diantara pada ulama, namun dalam pandangan hukum dan kaidah fikih yang mengharamkan lebih hati-hati, sementara yang membolehkan hal ini lebih sesuai dengan kaidah maslahat karena asal segala benda adalah mubah kecuali ada dalil yang menghalalkan atau mengharamkan. Sedangkan asal ibadah adalah haram kecuali ada dalil yang menegaskan baik perintah atau larangan. (Lihat Majmu Fatawa Ibnu Utsaimin 2/ 264-265).

Akan tetapi gambar-gambar yang sulit dihindari maka Syaikh Ibnu Utsaimin menegaskan sebagai berikut: “bahwa gambar-gambar yang sekarang sulit dihindari umat manusia yang terdapat pada benda-benda yang menjadi kebutuhan mereka secara darurat maka bila memungkinkan untuk menghindari maka lebih bagus namun bila tidak, karena adanya kesulitan dan keberatan untuk menghindarinya yaitu gambar-gambar yang ada pada beberapa majalah dan koran yang banyak mengandung unsur manfaat bimbingan dan pengarahan, maka saya memandang bila gambar bukan menjadi tujuan maka tidak mengapa, apalagi gambar-gambar tertutup, tidak nampak dan tidak terpampang”. (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, 2/ 286).

Adapun gambar yang muncul pada layar televisi, internet, media lain seperti HP dan yang lainnya asalkan gambar-gambar tersebut tidak mengandung unsur haram seperti wanita tabarruj atau laki-laki yang pamer aurat atau memicu kemaksiatan atau pelanggaran agama maka hukumnya boleh karena gambar-gambar tersebut sama halnya gambar-gambar yang ada di kaca cermin bila orang yang sedang berada di depannya maka gambar dirinya nampak dan bila dia pergi meninggalkannya maka gambarnya lenyap. Demikian juga gambar-gambar yang tampak di televisi, internet dan HP ketika dibuka maka gambar-gambar nampak dan bila televisi, video, internet dan HP dimatikan maka gambar-gambar yang ada lenyap secara otomatis.

Wallahu a’lam

Penulis: Ustadz Zainal Abidin, Lc.

Artikel www.Salafiyunpad.wordpress.com
Readmore...
sunnah

blog copas