Bahasa Arab, Bahasa Dunia

 
Di masa Daulah Abbasiyyah, yang ketika itu peradaban Islam mulai berkembang, bahasa Arab menjadi bahasa internasional. Bahasa Arab menjadi bahasa peradaban yang ditandai dengan diterjemahkannya berbagai buku dari bahasa Yunani dan Persia ke dalam bahasa Arab. Dengan bahasa Arab pula, para sarjana Islam menulis berbagai karya dalam bidang kedokteran, teknik, matematika, sains, dan berbagai bidang ilmu yang lain. Bahasa Arab merupakan pengantar ilmu-ilmu tadi  ke wilayah Eropa sehingga menjadi pondasi peradaban Eropa modern.

Setelah masa keemasan itu berlalu, bangsa Arab mulai mengalami masa kemunduran. Mereka mulai menjauh dari agama mereka, meninggalkan bahasa Arab baku, dan beralih pada berbagai dialek.
Kemudian, tibalah masa penjajahan. Di masa ini, penjajah menggerus kebudayaan  Islam dan penggunaan tata bahasa Arab baku. Mereka bersungguh-sungguh menanamkan penggunaan beragam dialek sehingga muncullah dialek Mesir, Maghrib (Afrika Utara), dan Suriah. Demikianlah realita yang terjadi. Inilah sebab terpecahnya bangsa Arab serta menjauhnya mereka satu sama lain, yang tampak apabila seorang Arab berkunjung ke wilayah Arab yang lain, dia akan kesulitan  berkomunikasi dengan penduduk lokal jika mereka berbicara menggunakan dialeknya. Komunikasi tidak bisa berjalan lancar antara kedua belah pihak, kecuali jika digunakan bahasa Arab baku.
Kondisi di masa kini telah berubah. Penggunaan dialek melemah, sedangkan penggunaan bahasa Arab baku mulai menguat. Ini terjadi karena pengaruh pengajaran linguistik dan adanya berbagai sarana komunikasi modern. Akhirnya, bahasa Arab kembali menjadi bahasa internasional untuk kedua kalinya, seperti bahasa Inggris, Perancis, dan Spanyol, dan menjadi salah satu bahasa resmi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Bahasa ini juga menjadi bahasa ketujuh di dunia, dengan penutur lebih dari dua ratus juta orang Arab. Dengan bahasa ini pula, lebih dari satu milyar umat Islam menunaikan ibadah.
* Diterjemahkan dari artikel yang berjudul “Al-’Arabiyyah Lughah ‘Alamiyyah” dalam kitab Al-’Arabiyyah bayna Yadayk, jilid kedua, hlm. 158.

Catatan faidah:
Kaum muslimin hendaknya bangga dengan bahasa Arab baku dan tidak perlu malu atau ragu untuk mempelajarinya serta menyebarluaskan penggunaannya. Jangan sampai kaum muslimin terkecoh dengan kesan modern yang dimunculkan untuk memacu orang agar berlomba-lomba mahir berbahasa Inggris, Perancis,Spanyol, Cina, atau Jepang. Ketika Allah memilih bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur’an, itu sudah cukup menjadi bukti bahwa bahasa Arab baku adalah bahasa utama yang patut mereka pelajari.

Ummu Asiyah Athirah
-dengan beberapa editan redaksi-
Catatan Redaksi:
Di satu sisi, masa Abbasiyyah merupakan masa perkembangan peradaban Arab, tetapi di sisi lain justru merupakan masa kemunduran yang fatal. Penerjemahan buku-buku filsafat Yunani menjadi sebab masuknya bid’ah-bid’ah berbahaya bagi umat Islam, seperti Qadhariyah, Jahimyah, Asy‘ariyah, dan Mu‘tazilah.
Pada masa Khalifah al-Ma’mun dunia terjemahan sedang berada di puncaknya, penyempurnaan proyek pembangunan pusat intelektual Abbasiyyah, “Baitul Hikmah” yang telah mulai digarap pada masa ayahnya Harun ar-Rasyid. Bahkan ia terjun langsung sebagai penanggungjawab tugas ini untuk menambah buku-buku Yunani dan mengawasi tugas terjemahan.
Ash-Shofadi -rahimahullah- berkata,
“Disebutkan ketika al-Ma’mun mengadakan perjanjian perdamaian dengan raja-raja Nasrani –yaitu raja pulau Cyprus-, ia menulis surat meminta dikirimkan khazanah buku-buku Yunani, karena mereka mempunyai peninggalan buku Yunani yang cukup banyak pada sebuah tempat, yang tidak diperlihatkan kepada siapa pun. Raja pun mengumpulkan orang-orang terpercaya dan para cendekiawannya, kemudian  meminta saran mereka. Mereka semua mengusulkan agar tidak dikirim, kecuali seorang pendeta. Ia berkata kepada sang raja: “Kirimlah buku-buku itu kepada mereka. Ilmu ini tidaklah masuk ke sebuah bangsa yang bersyari’at kecuali membuatnya hancur dan membuat para cendekiawan ilmu mereka berpecah-belah.”[*]
Di antara pemikiran bid’ah yang paling menonjol sebagai akibat pengaruh filsafat di saat itu adalah bid’ah mu’tazilah. Pemikiran ini mampu memengaruhi Khalifah Al-Ma’mun. Di antara ajaran mu’tazilah adalah pernyataan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Maka mulailah musibah terjadi menimpa kaum Muslimin. Pada tahun 212 H, Al Ma’mun memaksakan pandangannya yang sesat kepada rakyat. Padahal, menurut aqidah Islam yang lurus, Al-Qur’an adalah kalamullah (perkataan Allah), dan bukan makhluk.
Al-Ma’mun kemudian menindas para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah, terutama Imam  Ahmad bin Hambal rahimulloh, dengan menyiksanya dalam penjara tanpa alasan.
Ustadz Armen Halim Naro berkata,
” … tentu kita dapat membayangkan sejauh mana bahaya penerjemahan ini, dengan mengetahui berapa buku-buku yang diterjemahkan dan berkembang di masyarakat Islam tanpa pengawasan, ditambah tujuan dari para penerjemah yang tidak terlupakan oleh kita. Begitulah kaum muslimin diserang dalam segi pemikiran dalam rumah tangga mereka sendiri, berjatuhanlah korban yang sangat banyak, jatuhlah mereka satu per satu ke dalam bid’ah atau kezindikan.

[*] (Al-Ghaitsul Musjim syarah Lamiyatil ‘Ajam) 1/79. Lihat pembahasan lebih luas dalam artikel Filsafat Islam Konspirasi Keji yang dimuat dalam Majalah Al Furqon Edisi 2 Tahun 6 rubrik Aqidah. artikel: www.badaronline.com
sunnah

blog copas