Tata Cara Memakai Jilbab Yang Benar [Disertai Gambar]

 
Cara Memakai Jilbab Yang Baik -Prolog
 Sebagaimana tertulis dalam Al Qur’an surat An Nur ayat 26, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “Wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)”.

Terus, apa hubungannya jilbab dengan kutipan ayat di atas? Ya, sosok wanita yang baik dalam pandangan islam adalah mereka yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai dan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-harinya. Salah satu amalan yang dimaksud adalah mengenakan Jilbab.

Apa itu jilbab? Menurut Wikipedia jilbab adalah pakaian terusan panjang menutupi seluruh badan kecuali tangan, kaki dan wajah yang biasa dikenakan oleh para wanita muslim. Jadi jilbab disini bukan hanya sebatas kerudung yang menutupi bagian kepala dan rambut saja. Dan yang pasti jilbab itu adalah identitas seorang muslimah. Dimana dengan jilbabnya dia akan mudah dikenali ke-muslimah-annya dan tidak akan diganggu.

Cara Memakai Jilbab Yang Baik 
Jilbab yang baik adalah jilbab yang sesuai dengan tuntunan Islam, bukan sesuai dengan mode atau trend yang berlaku di masyarakat. Apa saja syarat-syarat cara memakai jilbab yang baik? Beberapa di antaranya :

  • Menutupi aurat 
  • Jilbab lebar dan menutup dada 
  • Jilbab longgar tidak menampakkan bentuk tubuh 
  • Tidak tembus pandang 
  • Tidak memakai riasan/make up tebal 

Kesalahan Dalam Cara Memakai Jilbab 
Mengenai penggunaannya, jilbab itu sendiri bukanlah jenis jilbab atau kerudung gaul seperti fenomena yang sering kita lihat sekarang-sekarang ini. Kerudung yang digunakan haruslah syar’I dan sesuai dengan yang diperintahkan oleh Allah dan Rasulnya, baik itu dala Al Qur’an ataupun hadits. Nah, disini akan dibahas sedikit mengenai jilbab atau lebih ke gaya berbusana kaum muslimah yang seharusnya atau kita kenal dengan istilah syar’i.

Sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam : “Bahwa anak perempuan apabila telah cukup umurnya, maka mereka tidak boleh dilihat akan dia melainkan mukanya dan kedua telapak tangannya hingga pergelangan” (H.R. Abu Daud)”. Itu sabda Rasulullah. Tapi nyatanya sekarang, banyak para muslimah yang salah mengartikan jilbab dan gaya berbusana yang syar’i.













Berikut Kesalahan-kesalahan yang sering terjadi dalam berkerudung dan berbusana muslimah

- Kerudung tidak menutupi dada

Ini bertentangan dengan firman Allah SWT dalam Al-qur’an “.. dan hendaklah mereka menutup kain kerudung ke dadanya ” (QS. An Nur : 31)

- Rok kurang panjang (agak ngatung)

Hal ini tidak sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tarmizi dan Nasa’i, dari Ummu Salamah r.a. “”Ya Rasulullah, bagaimana dengan perempuan dan kain-kain mereka yang sebelah bawah?”Sabda Rasulullah S.A.W : “Hendaklah mereka memanjangkan barang sejengkal dan janganlah menambahkan lagi keatasnya

- Pakaian ketat dan menampakkan bentuk tubuh

Selain terlihat dan terasa sesak, ternyata pakaian yang ketat juga tidak baik untuk kesehatan. Sebuah penelitian membuktikan bahwa pakaian yang ketat menyebabkan kulit kekurangan ruang untuk bernafas. Akibat yang ditimbulkan dari mengenakan pakaian ketat – mulai dari yang teringan seperti biduran, adanya bercak ringan di bagian tubuh tertentu sampai dengan penyakit yang cukup berbahaya, seperti kemandulan dan kanker.

- Menggunakan riasan make up yang tebal.

Menggunakan riasan make up bagi seorang perempuan tidaklah dilarang, tapi anjurannya adalah ‘jangan berlebihan’ karena segala sesuatu ynag berlebihan itu tidak baik dan Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan. Selain itu, jika make up anda terlalu tebal, maka kurang sehat untuk wajah anda karena kulit wajah tidak dapat bernafas dengan baik dan menyisakan residu yang berlebihan pada wajah sehingga jika tidak telaten dapat menyebabkan jerawat di wajah. Apalagi ada beberapa muslimah yang mungkin malas berwudhu atau hanya berwudhu sekedarnya saja dengan alasan menjaga riasan wajah agar tetap awet.

- Kesalahan lainnya dalam berkerudung, diantaranya adalah tidak memakai kaos kaki, mengenakan blus yang pendek, memakai rok dengan belahan tinggi serta mengenakan kerudung yang terbuat dari bahan yang tipis/jarang.

Cara Memakai Jilbab Yang Benar – Penutup 

Demikian penjelasan singkat tentang cara memakai jilbab yang benar dan jilbab yang salah. Ikutilah yang benar dan jauhilah yang salah. Semoga bermanfaat.

Sumber Artikel : islam-download.net

Dipublikasikanartikelassunnah.blogspot.com
Readmore...

Arti Cinta yang Sesungguhnya

 
Cinta bisa jadi merupakan kata yang paling banyak dibicarakan manusia. Setiap orang memiliki rasa cinta yang bisa diaplikasikan pada banyak hal. Wanita, harta, anak, kendaraan, rumah dan berbagai kenikmatan dunia lainnya merupakan sasaran utama cinta dari kebanyakan manusia. Cinta yang paling tinggi dan mulia adalah cinta seorang hamba kepada Rabb-nya.

Kita sering mendengar kata yang terdiri dari lima huruf: CINTA. Setiap orang bahkan telah merasakannya, namun sulit untuk mendefinisikannya. Terlebih untuk mengetahui hakikatnya. Berdasarkan hal itu, seseorang dengan gampang bisa keluar dari jeratan hukum syariat ketika bendera cinta diangkat. Seorang pezina dengan gampang tanpa diiringi rasa malu mengatakan, “Kami sama-sama cinta, suka sama suka.” Karena alasan cinta, seorang bapak membiarkan anak-anaknya bergelimang dalam dosa. Dengan alasan cinta pula, seorang suami melepas istrinya hidup bebas tanpa ada ikatan dan tanpa rasa cemburu sedikitpun.

Demikianlah bila kebodohan telah melanda kehidupan dan kebenaran tidak lagi menjadi tolok ukur. Dalam keadaan seperti ini, setan tampil mengibarkan benderanya dan menabuh genderang penyesatan dengan mengangkat cinta sebagai landasan bagi pembolehan terhadap segala yang dilarang Allah dan Rasul-Nya Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.” (Ali ‘Imran: 14)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam haditsnya dari shahabat Tsauban radhiallahu ‘anhu mengatakan:

‘Hampir-hampir orang-orang kafir mengerumuni kalian sebagaimana berkerumunnya di atas sebuah tempayan.’ Seseorang berkata: ‘Wahai Rasulullah, apakah jumlah kita saat itu sangat sedikit?’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: ‘Bahkan kalian saat itu banyak akan tetapi kalian bagaikan buih di atas air. Dan Allah benar-benar akan mencabut rasa ketakutan dari hati musuh kalian dan benar-benar Allah akan campakkan ke dalam hati kalian (penyakit) al-wahn.’ Seseorang bertanya: ‘Apakah yang dimaksud dengan al-wahn wahai Rasulullah?’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Cinta dunia dan takut mati.’ (HR. Abu Dawud no. 4297, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 3610)

Asy-Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di dalam tafsirnya mengatakan:
“Allah memberitakan dalam dua ayat ini (Ali ‘Imran: 13-14) tentang keadaan manusia kaitannya dengan masalah lebih mencintai kehidupan dunia daripada akhirat, dan Allah menjelaskan perbedaan yang besar antara dua negeri tersebut. Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberitakan bahwa hal-hal tersebut (syahwat, wanita, anak-anak, dsb) dihiaskan kepada manusia sehingga membelalakkan pandangan mereka dan menancapkannya di dalam hati-hati mereka, semuanya berakhir kepada segala bentuk kelezatan jiwa. Sebagian besar condong kepada perhiasan dunia tersebut dan menjadikannya sebagai tujuan terbesar dari cita-cita, cinta dan ilmu mereka. Padahal semua itu adalah perhiasan yang sedikit dan akan hilang dalam waktu yang sangat cepat.”

Definisi Cinta
Untuk mendefinisikan cinta sangatlah sulit, karena tidak bisa dijangkau dengan kalimat dan sulit diraba dengan kata-kata. Ibnul Qayyim mengatakan: “Cinta tidak bisa didefinisikan dengan jelas, bahkan bila didefinisikan tidak menghasilkan (sesuatu) melainkan menambah kabur dan tidak jelas, (berarti) definisinya adalah adanya cinta itu sendiri.” (Madarijus Salikin, 3/9)

Hakikat Cinta
Cinta adalah sebuah amalan hati yang akan terwujud dalam (amalan) lahiriah. Apabila cinta tersebut sesuai dengan apa yang diridhai Allah, maka ia akan menjadi ibadah. Dan sebaliknya, jika tidak sesuai dengan ridha-Nya maka akan menjadi perbuatan maksiat. Berarti jelas bahwa cinta adalah ibadah hati yang bila keliru menempatkannya akan menjatuhkan kita ke dalam sesuatu yang dimurkai Allah yaitu kesyirikan.

Cinta kepada Allah
Cinta yang dibangun karena Allah akan menghasilkan kebaikan yang sangat banyak dan berharga. Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin (3/22) berkata: ”Sebagian salaf mengatakan bahwa suatu kaum telah mengaku cinta kepada Allah lalu Allah menurunkan ayat ujian kepada mereka:

“Katakanlah: jika kalian cinta kepada Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian.” (Ali ‘Imran: 31)
Mereka (sebagian salaf) berkata: “(firman Allah) ‘Niscaya Allah akan mencintai kalian’, ini adalah isyarat tentang bukti kecintaan tersebut dan buah serta faidahnya. Bukti dan tanda (cinta kepada Allah) adalah mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, faidah dan buahnya adalah kecintaan Allah kepada kalian. Jika kalian tidak mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka kecintaan Allah kepada kalian tidak akan terwujud dan akan hilang.”

Bila demikian keadaannya, maka mendasarkan cinta kepada orang lain karena-Nya tentu akan mendapatkan kemuliaan dan nilai di sisi Allah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu:

“Tiga hal yang barangsiapa ketiganya ada pada dirinya, niscaya dia akan mendapatkan manisnya iman. Hendaklah Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya, dan hendaklah dia mencintai seseorang dan tidaklah dia mencintainya melainkan karena Allah, dan hendaklah dia benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah selamatkan dia dari kekufuran itu sebagaimana dia benci untuk dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Al-Bukhari no. 16 dan Muslim no. 43)

Ibnul Qayyim mengatakan bahwa di antara sebab-sebab adanya cinta (kepada Allah) ada sepuluh perkara:

Pertama, membaca Al Qur’an, menggali, dan memahami makna-maknanya serta apa yang dimaukannya.
Kedua, mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan-amalan sunnah setelah amalan wajib.
Ketiga, terus-menerus berdzikir dalam setiap keadaan.
Keempat, mengutamakan kecintaan Allah di atas kecintaanmu ketika bergejolaknya nafsu.
Kelima, hati yang selalu menggali nama-nama dan sifat-sifat Allah, menyaksikan dan mengetahuinya.
Keenam, menyaksikan kebaikan-kebaikan Allah dan segala nikmat-Nya.
Ketujuh, tunduknya hati di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Kedelapan, berkhalwat (menyendiri dalam bermunajat) bersama-Nya ketika Allah turun (ke langit dunia).
Kesembilan, duduk bersama orang-orang yang memiliki sifat cinta dan jujur.
Kesepuluh, menjauhkan segala sebab-sebab yang akan menghalangi hati dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
(Madarijus Salikin, 3/18, dengan ringkas)

Cinta adalah Ibadah
Sebagaimana telah lewat, cinta merupakan salah satu dari ibadah hati yang memiliki kedudukan tinggi dalam agama sebagaimana ibadah-ibadah yang lain. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu.” (Al-Hujurat: 7)

“Dan orang-orang yang beriman lebih cinta kepada Allah.” (Al-Baqarah: 165)

“Maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.” (Al-Maidah: 54)

Adapun dalil dari hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hadits Anas yang telah disebut di atas yang dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim: “Hendaklah Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya.”

Macam-macam cinta
Di antara para ulama ada yang membagi cinta menjadi dua bagian dan ada yang membaginya menjadi empat. Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdulwahhab Al-Yamani dalam kitab Al-Qaulul Mufid fi Adillatit Tauhid (hal. 114) menyatakan bahwa cinta ada empat macam:

Pertama, cinta ibadah.
Yaitu mencintai Allah dan apa-apa yang dicintai-Nya, dengan dalil ayat dan hadits di atas.

Kedua, cinta syirik.
Yaitu mencintai Allah dan juga selain-Nya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Dan di antara manusia ada yang menjadikan selain Allah sebagai tandingan-tandingan (bagi Allah), mereka mencintai tandingan-tandingan tersebut seperti cinta mereka kepada Allah.” (Al-Baqarah: 165)

Ketiga, cinta maksiat.
Yaitu cinta yang akan menyebabkan seseorang melaksanakan apa yang diharamkan Allah dan meninggalkan apa-apa yang diperintahkan-Nya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Dan kalian mencintai harta benda dengan kecintaan yang sangat.” (Al-Fajr: 20)

Keempat, cinta tabiat.
Seperti cinta kepada anak, keluarga, diri, harta dan perkara lain yang dibolehkan. Namun tetap cinta ini sebatas cinta tabiat. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

“Ketika mereka (saudara-saudara Yusuf ‘alaihis salam) berkata: ‘Yusuf dan adiknya lebih dicintai oleh bapak kita daripada kita.” (Yusuf: 8)

Jika cinta tabiat ini menyebabkan kita tersibukkan dan lalai dari ketaatan kepada Allah sehingga meninggalkan kewajiban-kewajiban, maka berubahlah menjadi cinta maksiat. Bila cinta tabiat ini menyebabkan kita lebih cinta kepada benda-benda tersebut sehingga sama seperti cinta kita kepada Allah atau bahkan lebih, maka cinta tabiat ini berubah menjadi cinta syirik.

Buah cinta
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu mengatakan:
“Ketahuilah bahwa yang menggerakkan hati menuju Allah ada tiga perkara: cinta, takut, dan harapan. Dan yang paling kuat adalah cinta, dan cinta itu sendiri merupakan tujuan karena akan didapatkan di dunia dan di akhirat.” (Majmu’ Fatawa, 1/95)

Asy-Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu menyatakan:
“Dasar tauhid dan ruhnya adalah keikhlasan dalam mewujudkan cinta kepada Allah. Cinta merupakan landasan penyembahan dan peribadatan kepada-Nya, bahkan cinta itu merupakan hakikat ibadah. Tidak akan sempurna tauhid kecuali bila kecintaan seorang hamba kepada Rabbnya juga sempurna.” (Al-Qaulus Sadid, hal. 110)

Bila kita ditanya bagaimana hukumnya cinta kepada selain Allah? Maka kita tidak boleh mengatakan haram dengan spontan atau mengatakan boleh secara global, akan tetapi jawabannya perlu dirinci.

Pertama, bila dia mencintai selain Allah lebih besar atau sama dengan cintanya kepada Allah maka ini adalah cinta syirik, hukumnya jelas haram.
Kedua, bila dengan cinta kepada selain Allah menyebabkan kita terjatuh dalam maksiat maka cinta ini adalah cinta maksiat, hukumnya haram.
Ketiga, bila merupakan cinta tabiat maka yang seperti ini diperbolehkan.

Wallahu a’lam.
Penulis : Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah An-Nawawi
Sumber : http://www.asysyariah.com
Readmore...

Mengenal Syirik Ashgar

 

At Tauhid edisi VIII/5

Oleh: Ferdiansyah Aryanto

Makna Syirik dan Pembagiannya

Syirik adalah seorang hamba menjadikan tandingan atau sekutu untuk Allah dalam masalah rububiyyah atau Uluhiyyah atau ‘Asma dan Shifat-Nya. Kesyirikan merupakan kedzaliman yang paling besar. (Tahdzib Tas-hil Aqidah Islamiyyah, Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz Al Jibrin, hal. 70)

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya, saat memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kedzaliman yang besar” ( QS. Luqman:13).

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di menjelaskan, “Dan tidak ada perbuatan yang lebih jelek dan lebih jahat daripada seorang yang menyamakan Allah, Raja yang menjaga seluruh makhlukNya dengan makhluk yang berasal dari tanah. Menyamakan Allah yang mengatur segala urusan dengan makhluk yang tidak mengatur urusan sama sekali. Menyamakan Allah yang Maha sempurna dan Maha kaya dengan makhluk yang penuh kekurangan dan miskin dari segala sisi. Menyamakan Allah yang memberikan semua nikmat, baik berupa agama dan dunia, dengan makhluk yang tidak bisa memberikan nikmat walaupun sebesar dzarrah. Maka kedzaliman mana lagi yang lebih besar daripada perbuatan syirik?” (Taisir Karimirrahman, tafsir surat Luqman ayat 13)

Perbuatan syirik dibagi menjadi dua, yaitu syirik akbar dan syirik asghar.

Syirik asghar adalah setiap perbuatan kesyirikan yang disebutkan dalam dalil-dalil syariat, tetapi belum sampai derajat syirik akbar. (Tahdzib Tas-hil Aqidah Islamiyyah, hal. 70)

Definisi syirik asghar yang lain adalah sarana (perantara) yang akan mengantarkan kepada syirik akbar (Lihat Mutiara Faidah Kitab Tauhid, Ustadz Abu Isa, cetakan pustaka muslim, edisi revisi hal.36). Dinamakan syirik kecil karena perbuatan tersebut belum membatalkan iman, adapun dosanya tetap lebih besar daripada dosa besar yang lain, semisal membunuh, mencuri, berzina, atau durhaka kepada orang tua.

Perbedaan Syirik Akbar dan Syirik Asghar

Perbedaan antara syirik akbar dan syirik asghar, antara lain :

  1. Syirik akbar menyebabkan pelakunya murtad (keluar dari islam), sedangkan syirik asghar tidak, akan tetapi mengurangi kadar tauhidnya.
  2. Pelaku syirik akbar kekal di neraka, sedangkan pelaku syirik asghar terancam masuk neraka, tetapi tidak kekal.
  3. Syirik akbar menghapuskan pahala seluruh amal, sedangkan syirik asghar hanya menghapus amal yang tercampur dengan syirik tersebut.
  4. Pelaku syirik akbar boleh diperangi, sedangkan pelaku syirik asghar tidak boleh diperangi.
  5. Syirik akbar tidak diampuni dosanya, sedangkan syirik asghar memungkinkan untuk diampuni dosanya, menurut sebagian ulama.

Ancaman bagi pelaku syirik akbar dan syirik asghar tersebut berlaku apabila mereka tidak mau bertaubat sebelum matinya. (Mutiara Faidah Kitab Tauhid, hal.37)

Bentuk-bentuk Syirik Asghar

1. Riya’

Riya’ adalah memperlihatkan amalan ibadah kepada manusia atau memperbagus amalan di hadapan manusia agar dipuji. Termasuk di dalamnya adalah memperdengarkan amalan kepada orang lain agar mendapat pujian (sum’ah). Jika sesorang melakukan seluruh amalnya agar dipuji dan dilihat manusia, tidak sedikit pun mengharap wajah Allah, maka dia telah melakukan kemunafikan akbar dan syirik akbar yang mengeluarkannya dari agama islam. Sedangkan jika seseorang dalam ibadahnya diniatkan untuk Allah sekaligus di dalamnya terdapat riya’ agar dilihat manusia, maka dia terjatuh ke dalam syirik asghar yang mengurangi kadar tauhidnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maukah kuberitahu tentang sesuatu yang lebih aku khawatirkan menimpa kalian daripada fitnah Dajjal? Para sahabat berkata, “Tentu saja”. Beliau bersabda, “Syirik yang tersembunyi, yaitu ketika sesorang berdiri mengerjakan shalat, dia perbagus shalatnya karena mengetahui ada orang lain yang memperhatikannya “ (H.R Ahmad dalam Musnadnya, dinilai hasan oleh Syaikh Al Albani)

Demikian contoh riya’dalam shalat. Ibadah-ibadah yang lain juga memungkin tercampuri riya’.

2. Bersandar kepada Sebab

Yaitu tidak bertawakal kepada Allah Ta’ala. Tawakal adalah menyerahkan segala urusan kepada Allah Ta’ala setelah mengambil sebab-sebab yang diijinkan secara syari’at. Misalnya jika kita sakit, maka kita ke dokter (mengambil sebab), setelah itu kita menyerahkan kesembuhan kita kepada Allah. Apa yang dikehendaki Allah, pasti terjadi dan yang tidak dikehendakiNya tidak akan terjadi. Jika seorang bersandar kepada sebab disertai keyakinan sebab tersebut yang mendatangkan manfaat dan madharat, maka dia terjatuh kedalam syirik akbar. Namun, jika seorang bersandar kepada sebab dan meyakini bahwa Allah yang mendatangkan manfaat dan madharat, maka dia terjatuh ke dalam syirik asghar.

3. Tathoyur (Anggapan Sial)

Tathoyur adalah menganggap sial seseorang atau benda tertentu atau selainnya. Contohnya adalah apa yang dilakukan pada masa jahiliyyah, jika seorang akan bepergian maka dia melepaskan seekor burung dan mengamatinya. Jika burung tersebut terbang ke arah kanan, maka dianggap pertanda baik, sehingga orang tersebut melaksanakan niatnya untuk bepergian. Tetapi jika burung tersebut terbang ke arah kiri, maka dianggap pertanda buruk, sehingga dia mengurungkan niatnya untuk bepergian. Maka termasuk tathoyur adalah keyakinan sebagian masyarakat kita yang menganggap bulan Suro (Al Muharram) adalah bulan sial, dan keyakinan yang semisalnya. Jika seorang melakukan tathoyur disertai keyakinan sesuatu tersebut yang mendatangkan manfaat dan madharat, maka dia terjatuh ke dalam syirik akbar. Namun, jika melakukan tathoyur disertai keyakinan bahwa Allah yang mendatangkan manfaat dan madharat, maka dia terjatuh ke dalam syirik asghar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,” Thiyarah(tathoyur) adalah syirik, thiyarah adalah syirik, thiyarah adalah syirik.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, Tirmidzi mengatakan hadits ini hadits hasan shahih).

4. Ruqyah Syirkiyah

Ruqyah adalah bacaan yang digunakan sebagai perlindungan untuk mengangkat bala’ atau menolaknya. Ruqyah syar’iyyah, bisa berupa dzikir dan do’a yang berasal dari Al Qur’an dan sunnah Nabi yang dibaca untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain untuk melindungi dari kejelekan dengan berbagai jenisnya. Dan disyaratkan dalam ruqyah syar’iyyah, adanya keyakinan bahwa ruqyah tersebut hanyalah sebagai sebab dari berbagai sebab yang disyariatkan, sedangkan manfaat dan kesembuhan ada di tangan Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Perlihatkanlah kepadaku ruqyah kalian, tidak mengapa ruqyah selama tidak ada unsur kesyirikan didalamnya”(HR. Muslim). Adapun ruqyah yang dilarang adalah ruqyah muharamah dan ruqyah syirkiyah. Disebut ruqyah muharamah jika bacaannya tidak diambil dari Al Qur’an dan hadits yang shahih, tetapi berupa mantra-mantra yang tidak dipahami maknanya. Jika meyakini bahwa ruqyah sebagai sebab yang mendatangkan manfaat dan menolak madharat dengan sendirinya, maka hukumnya syirik akbar.

5. Tamimah

Tamimah(jimat) adalah benda yang digantungkan atau dikalungkan pada anak kecil atau selainnya, yang digunakan untuk melindunginya dari bencana, baik untuk mengangkat bencana atau menolak bencana. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Barangsiapa menggantungkan tamimah(jimat), maka dia telah berbuat syirik”.(HR Ahmad dalam Musnadnya IV/154, Syeikh Al-Albani menshahikannya dalam Ash-Shahihah no.492). Tidaklah pantas seorang muslim menggantungkan dirinya kepada benda mati yang tidak bisa apa-apa, dengan meninggalkan Allah yang senantiasa melindungi hambaNya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung” (QS. Al Imran : 173)

6. Bersumpah dengan Nama Selain Allah

Sumpah adalah pengagungan terhadap nama yang digunakan untuk bersumpah. Semisal dengan perkataan, ‘Demi Kehormatanku’, ‘Demi cintaku padamu’, dan yang semisalnya. Maka, barangsiapa bersumpah dengan nama selain Allah, berarti telah berbuat kesyirikan. Karena dia telah menjadikan tandingan bagi Allah ta’ala dalam pengagungan yang tidaklah layak ditujukan pengagungan tersebut, kepada selain Allah ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa bersumpah dengan nama selain Allah, maka di telah berbuat kekafiran atau berbuat syirik” (HR. Tirmidzi no. 1535, Al-Arnauth mengatakan hadist ini, shahih). Yang dimaksud disini adalah syirik asghar, karena orang yang bersumpah dengan selain nama Allah, walaupun dia tidak berniat mengagungkan selain Allah tersebut, tetapi bisa mengantarkannya untuk mengagungkan selain Allah tersebut dengan pengagungan yang berlebihan. Sehingga, jika orang yang bersumpah ini mengagungkan selain Allah itu dengan pengagungan yang sama dengan Allah atau bahkan lebih, maka dia telah terjatuh ke dalam syirik akbar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Ketahuilah sesungguhnya Allah melarang kalian untuk bersumpah dengan nama nenek moyang kalian. Barangsiapa ingin bersumpah, maka bersumpahlah dengan nama Allah atau lebih baik diam” (HR. Al-Bukhari no. 5643, 6155, 6156 dan Muslim no. 3104).

7. Menyekutukan Allah dengan MakhlukNya dengan Perkataan ‘dan’ atau Semisalnya.

Yang dimaksud adalah tidak boleh mensejajarkan penyebutan Allah ta’ala dengan makhlukNya dalam perkara-perkara yang makhluq punya peran untuk terjadinya perkara tersebut. Perkataan ‘dan’ itu menunjukkan kesejajaran, bukan menunjukkan urutan atau tingkatan. Misalnya adalah perkataan ‘ini adalah kebaikan yang datang dari Allah dan anda’, atau ‘ini tidaklah terjadi kecuali karena kehendak Allah dan kehendak Anda’, ‘saya sembuh karena pertolongan Allah dan dokter’ dan semisalnya. Maka siapa yang telah mengucapkan kalimat-kalimat tersebut, dia telah terjerumus dalam syirik asghar. Karena Allah ta’ala sajalah yang mengatur alam semesta, makhluq hanya sebagai perantara saja, dalam terjadinya perkara tersebut. Sehingga, jika ingin menyebutkan peran makhluk, katakanlah ‘ini adalah kebaikan yang datang dari Allah kemudian dari anda’, dan semisalnya. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kamu mengatakan, ‘atas kehendak Allah dan kehendak si Fulan, tetapi atas kehendak Allah kemudian kehendak si fulan”. (HR. Abu Dawud no. 4980, Syeikh Al-Albani menshahikannya dalam Ash-Shahihah no. 137).

8. Mengaitkan Turunnya Hujan dengan Bintang

Semisal perkataan, ‘hujan turun karena bintang ini dan itu’. Jika seorang mengatakannya disertai keyakinan bahwa bintang tersebutlah yang menyebabkan hujan dengan sendirinya tanpa kehendak Allah, maka dia telah terjerumus kedalam syirik akbar. Dan jika seorang mengatakannya namun meyakini yang menurunkan hujan adalah Allah, bintang tersebut sebagai sebab saja, maka hukumnya syirik asghar. Karena dia telah menjadikan sebab yang tidak dijadikan Allah ta’ala sebagai sebab.

(Diringkas disertai perubahan dan tambahan dari kitab Tadzhib Tas-hil Aqidah Islamiyyah, hal 152-170).

Demikian sebagian dari bentuk-bentuk syirik asghar. Mudah-mudahan dengan mengenalnya, kita dapat menghindarinya sejauh-jauhnya. Sebagaimana perkataan shahabat Hudzaifah bin Yaman radhiyallahu ‘anhu, “Dahulu manusia bertanya kepada Rasulullah tentang hal-hal yang baik, tapi aku bertanya kepada beliau tentang hal-hal yang buruk supaya keburukan itu jangan sampai menimpaku. Ya Allah kami memohon perlindungan kepada-Mu jangan sampai kami menyekutukan-Mu dalam keadaan kami mengetahuinya dan kami memohon ampunan kepada-Mu untuk dosa yang tidak kami ketahui. Wa shallallahu ‘ala Muhammad, wa ‘ala alihi wa ashaabihi wa sallam. [Ferdiansyah Aryanto]

http://buletin.muslim.or.id/aqidah/mengenal-syirik-ashgar?utm_source=feedburner&utm_medium=email&utm_campaign=Feed%3A+KumpulanSitusSunnah+%28Kumpulan+Situs+Sunnah%29

Readmore...

MENGIKUTI MANHAJ SALAF DALAM SEMUA HAL

 

Oleh Ustadz Abu Nida` Chomsaha Shofwan

Dalam memahami Islam, dalam bentuk apapun, baik masalah ibadah, syari’ah, mu’amalah; terutama masalah aqidah, harus mengikuti sebagaimana ulama-ulama Salaf memahaminya. Sebagai contoh dalam memahami al Qur`an dan al Hadits, kita tidak boleh lepas dari pemahaman ulama-ulama Salaf. Mengapa harus mengikuti para salaf?

Karena para sahabat, tabi’in, tabi’ut-tabi’in, mereka adalah yang paling memahami tentang Islam seperti yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Begitu pula kita harus mengikuti imam-imam Ahlus Sunnah, karena mereka sangat memahami tentang Islam. Apa yang difatwakan mereka adalah untuk kebaikan bagi kaum Muslimin. Memang, para imam-imam tersebut tidak ma’shum, tetapi, mereka itu adalah mujtahid. Sedangkan ciri Ahlus Sunnah, di antaranya ialah mengikuti para ulama dalam memahami dalil, terutama masalah fitnah yang dimunculkan oleh firqah-firqah. Sebagai contoh, yaitu Khawarij dan Syi’ah.

Khawarij, mereka salah dalam memahami ayat :

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-oang yang kafir. [al Maidah/5 : 44].

Kelompok Khawarij tidak rela terhadap apa yang dilakukan oleh Khalifah Ali Radhiyallahu ‘anhu kepada Mu’awiyah Radhiyallahu ‘anhu, dan akhirnya mereka mengkafirkan Ali Radhiyallahu ‘anhu. Setelah itu, muncullah kelompok yang mengatasnamakan pendukung Ali Radhiyallahu ‘anhu yang dipimpin oleh ‘Abdullah bin Saba`, seorang Yahudi yang kemudian menyatakan masuk Islam, dan pada akhirnya nanti sebagai bibit pertama munculnya Syi’ah. Tokoh ini sangat berlebihan dalam mencintai Ali Radhiyallahu ‘anhu. Dia menyatakan, bahwa berdasarkan wasiat dari Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, katanya, Ali Radhiyallahu ‘anhu lebih berhak menjadi khalifah. Bahkan Syi’ah sampai mengangkat Ali sebagai ilah (sesembahan). Kedua firqah ini muncul pada zaman Khalifah Ali Radhiyallahu ‘anhu.

Firqah lain yang juga muncul, yaitu Qadariyah dan Murjiah. Firqah Qadariyah sendiri telah ada sejak zaman Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dalam kitab Syarah Ushul I’tiqad Ahli Sunnah, karya Al Lalika’i (I/35-36) disebutkan, Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata : Orang-orag musyrik Quraisy mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mendebat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam masalah qadar, maka turunlah firman Allah Azza wa Jalla.

إِنَّ الْمُجْرِمِينَ فِي ضَلَالٍ وَسُعُرٍ

[Sesungguhnya orang-orang yang berdosa berada dalam kesesatan (di dunia) dan dalam neraka - al Qamar/54 ayat 47-].

Disebutkan dalam al Lalika’i, halaman 36, ketika terjadi perdebatan di antara para sahabat dalam masalah qadar, dan didengar oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memarahi dan melarang mereka untuk mengulang-ulang pembicaraan tersebut. Dalam riwayat Muslim, dari Yahya bin Ya’mar, sesungguhnya ia berkata : “Orang yang pertama kali berbicara tentang al qadr di Basrah adalah, Ma’bad al Juhani”.

Madzhab Qadariyah berpandangan, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mentaqdirkan sesuatu dan Dia tidak mengetahuinya. Menurut paham sesat Qadariyah, Allah mengetahui setelah suatu kejadian itu terjadi. Dari pemahaman ini, berarti ada dua kesimpulan. Pertama, ingkar terhadap ilmu Allah sebelum sesuatu itu terjadi. Kedua, berarti hamba itu terjadi dengan sendirinya, bukan dari Allah. [Lihat al Lalika’i, 1/36-37].

Sedangkan Murjiah, mereka mempunyai pandangan, apabila seseorang yang beriman, melakukan dosa maka dosanya itu tidak mempengaruhi keimanannya. Sebagaimana orang kafir, sekalipun melakukan ketaatan, akan tetapi ketaatan itu tidak mempengaruhi kekufurannya. Mereka menyangka, iman itu hanya pembenaran di dalam hati saja. [Syarah Aqidah Washithiyah, Harrasy, hlm. 188]

Jadi, pada zaman pertengahan Khalifah Ali Radhiyallahu ‘anhu, telah muncul bid’ah-bid’ah Khawarij, Murjiah, Qadariyah, Syi’ah. Kemudian pada tahun 100-150 H muncullah nama pemuka ahli bid’ah, di antaranya Muqatil bin Sulaiman, Jahm bin Shafwan, Al Ja’d bin Dirham dan Washil bin Atha’. Mereka ini, masing-masing mempunyai pemikiran dan diikuti oleh jamaahnya.

Kemudian pada tahun 150-234 H, seiring dengan munculnya empat tokoh ahli bid’ah tersebut, muncul bid’ah-bid’ah dalam pemikiran, di antaranya :

1. Manzilah bainal manzilatain (satu tempat di antara dua tempat), yaitu tidak mukmin tidak kafir.
2. Masalah dosa besar.
3. Muncul bid’ah yang menyatakan bahwa al Qur`an itu makhluk.
4. Bid’ah yang menafikan (menolak) Asma’ wa Shsifat (nama-nama dan sifat-sifat Allah), atau menta’wilnya.
5. Bid’ah Jabariyah, yang berpandangan bahwa manusia itu dipaksa oleh Allah, dan manusia sama sekali tidak mempunyai kekuatan kehendak.

Inilah bid’ah-bid’ah yang muncul pada saat itu, yang pada zaman Khalifah Ali Radhiyallahu ‘anhu. Dan bid’ah yang pada waktu kemudian bermunculan, banyak terpengaruh oleh pemikiran atau filsafat Yunaniyah, merupakan produk dari akal manusia yang jahil, menyimpang dari al Qur`an dan as Sunnah dan pemahaman Salaful Ummah.

Adapun firqah-firqah yang muncul pada masa sekarang ini, semuanya menginduk kepada empat firqah tersebut, bisa ke Mu’tazilah, Syi’ah, Khawarij, atau Murjiah. Kesesatan firqah-firqah tersebut bisa karena mereka melampui batas dalam melaksanakan perintah, ataupun meninggalkan yang semestinya boleh dilakukan. Yakni, mereka terjatuh ke dalam al ifrath (terlalu mengagungkan) dan at tafrith (berlebih-lebihan). Padahal Islam itu wasath (tengah-tengah), di antara al ifrath dan at tafrith. Artinya, tidak boleh berlebih-lebihan, dalam batas yang disyariatkan. Islam itu lurus.

Firqah-firqah itu menisbatkan diri kepada Islam dan berbicara tentang Islam. Dan dalam membicarakan Islam, firqah-firqah tersebut menggunakan akal dan filsafat Yunani. Apabila al Qur`an dan Hadits bertentangan dengan akal dan filsafat, mereka akan mendahulukan akalnya daripada al Qur`an dan as Sunnah. Maka jelaslah, pemikiran semacam ini menyelisihi Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Dan harus diwaspadai, karena pola pemikiran seperti ini beredar di perguruan tinggi-perguruan tinggi Islam. Sehingga tak mustahil bisa melahirkan kecenderungan berpikir sangat berbahaya. Terlebih lagi bagi masyarakat kita yang mayoritas awam dan sangat kagum dengan orang yang mempunyai gelar kesarjanaan.

Dalam makalah ini, kami akan mengemukakan beberapa contoh, bahwa Islam itu berada di tengah-tengah, di antara al ifrath dan at tahrith, tidak kurang dan tidak berlebihan. Naskah yang ditulis oleh Ustadz Abu Nida` Chomsaha Shofwan ini, diangkat dari Tahdzib, Tashil al Aqidah al Islamiyah, Dr. ‘Abdullah bin ‘Abdul Aziz al Jibrin. Semoga bermanfaat.

DALAM MASALAH IBADAH
Dalam masalah aqidah ini, pemahaman Ahlus Sunnah berada di tengah-tengah, antara pemikiran Rafidhah dan ad Duruz an Nushairiyah

Rafidhah, mereka beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tetapi tidak sebagaimana yang disyariatkanNya, seperti dalam berdzikir, tawasul. Dzikir mereka amalkan ialah dengan dipimpin, dan secara berjamaah. Mereka juga bertawasul kepada orang-orang shalih yang sudah meninggal, membuat acara-acara bid’ah, seperti Maulid Nabi, Isra` Mi`raj, mendirikan bangunan di atas kubur, kemudian shalat dan thawaf, serta menyembelih di atasnya. Perbuatan yang mereka amalkan sangat melampui batas, hingga mereka menyembah dan berdoa kepadanya, dengan maksud untuk mendatangkan manfaat dan menolak madharat (bahaya, musibah). Misalnya dengan maksud minta kaya dan keselamatan, serta menolak bala` (musibah).

Ad Duruz an Nushairiyah, mereka tidak melaksanakan ibadah-ibadah yang biasa dilakukan oleh kaum Muslimin. Mereka meninggalkan shalat, tidak berpuasa, tidak zakat, tidak berhaji dan seterusnya.

Adapun Ahlus Sunnah wal Jama’ah, mereka beribadah kepada Allah sesuai dengan yang disyariatkan di dalam al Qur`an dan as Sunnah. Tidak meninggalkan yang diwajibkan oleh Allah, dan tidak menambah dengan hal-hal baru yang tidak ada contohnya dari Rasul. Berdasarkan hadits :

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa membuat-buat suatu yang baru dalam agama ini yang tidak berasal darinya, maka itu tertolak. [Muttafaq ‘alaih]

مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa melakukan satu amalan yang tidak ada dalam agama kami ini, maka itu tertolak. [HR Muslim]

أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

Amma ba’du, sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah Kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta seburuk-buruknya adalah perkara baru yang dibuat-buat. Dan setiap yang bid’ah itu adalah sesat. [HR Muslim].

DALAM MASALAH ASMA`DAN SIFAT ALLAH
Pemahaman Ahlus Sunnah dalam asma` dan sifat Allah berada di tengah-tengah di antara kelompok-kelompok Mu’aththilah (yang menafikan) dan kelompok yang Mumatstsilah (yang menyamakan Allah dengan makhluk). Di antara Mu’aththilah ada yang mengingkari nama-nama Allah dan sifat-sifat Allah, seperti Jahmiyah. Juga ada yang mengingkari sifat-sifat Allah, seperti Mu’tazilah, dan ada yang mengingkari sebagian sifat-sifat Allah, seperti al Asy’ariyah. Mereka ini, dalam menentukan nama-nama dan sifat-sifat Allah bersandar kepada akal manusia, bukan dengan al Qur`an dan as Sunnah.

Al Mumatstsilah, yaitu kelompok yang menjadikan sifat Allah sama seperti sifat makhluk. Seperti mengatakan tangan Allah seperti tangan kami, pendengaran Allah seperti pendengaran kami, dan seterusnya. Pemahaman seperti ini berbeda dengan Ahlus Sunnah.

Ahlus Sunnah wal Jama’ah menetapkan apa-apa yang telah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla atas diriNya dan apa-apa yang ditetapkan oleh RasulNya, baik berupa nama-nama dan sifatNya, tidak dita’wil (dirubah artinya), tidak ditolak (diingkari), tidak disamakan dengan sifat-sifat makhluk, dan tidak bertanya tentang hakikatnya. Ahlus Sunnah mengimani bahwa nama-nama dan sifat-sifat Allah itu benar-benar ada (haqiqi), sesuai dengan kebesaran Allah, dan tidak sama dengan sifat-sifat makhluk. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla.

إِنَّ الْمُجْرِمِينَ فِي ضَلَالٍ وَسُعُرٍ

Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. [asy Syuura/42 : 11]. [Lihat Taqrib at Tadmuriyyah]

DALAM MASALAH QADHA DAN QADAR
Ahlus Sunnah wal Jamaah berada di antara Jabariyah dan Qadariyah.

Firqah Qadariyah, mereka menafikan qadr (ketentuan Allah). Mereka berpendapat, bahwa perbuatan manusia, baik yang berupa ketaatan maupun kemaksiatan, tidak ada campur tangan dari Allah. Perbuatan itu tidak ditakdirkan dan tidak ditentukan Allah. Menurut mereka, perbuatan manusia itu terbebas dari apa saja, tidak ada yang mempengaruhi dan tidak diciptakan oleh Allah. Yang berarti perbuatan manusia itu diciptakan oleh dirinya sendiri. Apabila demikian, berarti Qadariyah terjatuh ke perbuatan syirik dalam masalah rububiyah; karena ada beberapa pencipta, yaitu Allah dan manusia. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjuluki mereka dengan “majusinya” umat ini.

Adapun Jabariyah, mereka berlebihan dalam menetapkan qadr. Mereka berpendapat, sesungguhnya perbuatan hamba itu dipaksa oleh Allah. Manusia hanya mengikuti saja, ibarat daun ditiup angina. Jabariyah menganggap manusia tidak mempunyai kehendak apapun, terserah angin yang membawa.

Sedangkan Ahlus Sunnah wal Jamaah memiliki pemahaman tengah-tengah di antara Jabariyah dan Qadariyah. Ahlus Sunnah menetapkan, bahwa manusia (hamba) itu benar-benar berbuat, dan perbuatan mereka itu dinisbatkan kepada mereka (yang berbuat) dengan sebenar-benarnya. Tetapi, semua perbuatan hamba itu terjadi dengan takdir dan kehendak, dan merupakan ciptaanNya. Allah-lah yang menciptakan hamba dan perbuatan hamba tersebut. Firman Allah:

وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ

Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu. [ash Shaffat/37 : 96]

Seorang hamba mempunyai kehendak, tetapi kehendaknya itu di bawah kehendak Allah. Firman Allah :

تَشَاءُونَ إِلَّا أَن يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

an kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu), kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam. [at Takwir/81 : 29]

Allah memerintahkan kepada hamba untuk taat kepadaNya dan taat kepada RasulNya, dan melarang mereka berbuat maksiat. Allah mencintai orang-orang yang bertaqwa, dan Dia tidak ridha kepada orang yang fasik. Supaya hamba tidak menuntut di akhirat nanti, maka Allah mengutus Rasul dan menurunkan kitab. Barangsiapa yang taat, silakan taat dan akan diberi pahala. Sebaliknya, barangsiapa yang ingin bermaksiat, silakan berbuat maksiat dan akan mendapat balasan. Karena permasalahannya sudah jelas, dan Allah tidak zhalim terhadap hambanya. Firman Allah :

مَّنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ ۖ وَمَنْ أَسَاءَ فَعَلَيْهَا ۗ وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِّلْعَبِيدِ

Barangsiapa yang mengerjakan amal yang shalih, maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang berbuat jahat, maka (dosanya) atas dirinya sendiri; dan sekali-sekali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hamba(Nya). [Fushilat/41 : 46].

Ada empat tingkatan yang harus diimani dalam masalah qada’ dan qadr ini.
1. Ilmu Allah meliputi segala sesuatu.
Sesungguhnya Allah mengetahui yang sudah terjadi dan yang akan terjadi, dan Allah mengetahui perbuatan hambaNya sebelum Allah menciptakannya.

2. Segala yang ada telah dicatat oleh Allah di dalam Lauhul Mafudz pada 50 ribu tahun sebelum Allah menciptakannya.

3. Kehendak dan kekuasaan Allah meliputi apa yang Allah kehendaki, maka bisa terjadi. Begitu pula apa yang tidak dikehendakiNya, maka tidak akan terjadi. Semua yang terjadi tersebut atas kehendak Allah sebelum hal itu terjadi.

4. Allah menciptakan segala sesuatu.
Allah-lah yang menciptakan orang yang mengerjakan dan pekerjaannya, dan yang bergerak dan gerakannya, dan semua yang diam dan diamnya.

DALAM MASALAH AL WA’D DAN AL WA’ID
Al wa’du atau janji, yaitu ayat-ayat yang memberikan janji surga bagi yang beramal shalih. Sedangkan al wa’id atau ancaman, yaitu ayat-ayat yang memberikan ancaman neraka bagi yang berbuat maksiat.

Pendapat Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam masalah ini berada di tengah-tengah antara Wa’idiyah dan Murjiah.

Kelompok Wa’idiyah mempunyai pemahaman, bahwa ayat-ayat al wa’diyah (ancaman) harus diutamakan dibandingkan dengan ayat-ayat al wa’du (janji). Menurut mereka, pelaku dosa besar, seperti zina, minum khamr adalah kafir dan kekal di neraka.

Sedangkan Murjiah, mereka mengutamakan ayat-ayat al wa’du daripada ayat-ayat al wa’id. Mereka berkata, iman ialah pembenaran dalam hati. Amal tidak termasuk iman. Dan kemaksiatan seorang mu’min (seperti zina dan minum khamr) tidak membahayakan keimanannya, dan ia tidak berhak masuk Neraka. Menurut mereka, seorang mukmin meskipun bermaksian, keimanannya tetap seperti keimanan yang dimiliki Abu Bakr dan ‘Umar Radhiyallahu a’nhuma.

Berbeda denganAhlus Sunnah wal Jamaah yang berpendapat, seorang muslim, apabila berbuat maksiat (seperti melakukandosa besar), maka dia tidak keluar dari Islam. Artinya, dia tetap muslim, tetapi imannya berkurang. Selama tidak melakukan perbuatan yang mengkafirkannya, dia tetap mukmin dengan imannya, dan fasiq dengan dosanya. Dan di akhirat terserah kepada Allah Azza wa Jalla. Jika Dia berkehendak untuk mengampuni, maka dia diampuni. Jika tidak, maka disiksa sampai bersih dosa-dosanya, kemudian masuk surga. Mereka tidak kekal di neraka, kecuali jika mati dalam keadaan kufur dan syirik kepada Allah.

Definisi iman menurut Ahlus Sunnah wal Jamaah ialah, diucapkan dengan lisan, diyakini dengan hati, diamalkan dengan anggota badan. Dan iman itu bisa bertambah dengan sebab ketaatan, berkurang akibat perbuatan maksiat.

DALAM MASALAH PARA SAHABAT NABI SHALALLLAHU A’ALAIHI WA SALLAM
Kepada para sahabat Nabi, pandangan Ahlus Sunnah wal Jamaah kepada mereka berada di antara al Khawarij dan Syiah.

Syiah, mereka melampaui batas dalam mencintai Ahlul Bait (keluarga Nabi), seperti kepada Ali bin abi Thalib dan anak-anaknya Radhiyallahu ‘anhum. Mereka memiliki anggapan bahwa Ali Radhiyallahu a’nhu itu ma’shum (tidak pernah salah), mengetahui hal-hal ghaib, dan lebih utama daripada Abu Bakr Radhiyallahu ‘anhu. Bahkan ada yang sampai mengatakan Ali Radhiyallahu ‘anhu itu ilah (Tuhan).

Sedangkan Syiah Rafidhah, mereka membenci kepada sebagian sahabat. Mereka melontarkan celaan kepada sebagian sahabat. Mereka mengatakan bahwa para sahabat telah kufur dan murtad setelah Rasulullah n wafat, termasuk juga Abu Bakr Radhiyallahu ‘anhu. Tidak ada pengecualian, selain Ahlul Bait dan beberapa sahabat saja. Mereka berkata, sesungguhnya mereka itu adalah kekasih Ahlul Bait.

Mereka juga mengecam isteri-isteri Rasul dan afdhalush shahabah (sahabat terbaik), yaitu Abu Bakr secara terang-terangan. Terkadang mereka tampak meridhainya, dan secara dhahir menunjukkan kecintaan kepada sahabat dan dekat kepada Ahlus Sunnah. Namun, mereka sebenarnya hanyalah melakukan tipuan saja, sebab aqidah mereka adalah aqidah taqiyyah (pura-pura), dhahirnya menampakkan Ahlus Sunnah, akan tetapi hakikat di dalam kalbunya Syiah.

Sebaliknya, al Khawarij berseberangan dengan Syiah. Khawarij sangat membenci Ali Radhiyallahu ‘anhu, dan tidak memberikan hak yang sebenarnya kepada Ali Radhiyallahu ‘anhu. Mereka juga mengkafirkan Mu’awiyah dan mengkafirkan orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka.

Adapun Ahlus Sunnah wal Jamaah, mereka mencintai sahabat Nabi dan meridhainya. Ahlus Sunnah berpendapat, para sahabat adalah orang yang paling mulia setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Allah telah memilih mereka sebagai sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Terhadap perselisihan yang terjadi di kalangan para sahabat, maka Ahlus Sunnah wal Jamaah tidak memberikan komentar terhadap pertikaian mereka. Ahlus Sunnah wal Jamaah berpendapat, para sahabat adalah mujtahidun, yang mendapat pahala. Jika benar mendapat dua pahala, tetapi jika salah mendapat satu pahala.

Ahlus Sunnah juga berpendapat, sahabat yang termulia adalah Abu Bakr kemudian Umar, kemudian ‘Utsman, kemudian Ali Radhiyallahu ‘anhum, dan juga mencintai Ahlul Bait Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam pandangan Ahlus Sunnah wal Jamaah, Ahlul Bait mendapat dua hak, yaitu hak Islam dan hak keluarga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari penjelasan ringkas ini, menunjukkan bila Ahlus Sunnah wal Jamaah mencintai dan meridhai para sahabat dan Ahlul Bait Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun X/1427H/2006M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]

http://ibnuramadan.wordpress.com/2011/12/30/mengikuti-manhaj-salaf-dalam-semua-hal/

Readmore...

Mengenal Hujan (Selesai)

 

Fungsi Keenam: Hujan Sebagai Ilustrasi Nyata Tentang Fungsi Agama Allah

fungsi hujan

Saudaraku, coba Anda cermati berbagai tumbuhan yang tumbuh di sekitar Anda berkat turunnya air hujan. Apakah semua tumbuhan tersebut bermanfaat bagi Anda? Apakah semua tumbuhan itu menghasilkan buah atau bijian yang dapat Anda nikmati?

Betapa banyak tumbuhan di sekitar Anda yang keberadaannya mengganggu atau bahkan mengancam kehidupan Anda. Ada darinya tumbuhan yang berduri, ada pula yang menghasilkan buah yang kecil, besar, manis, kecut, masam, pahit, beracun, dan memabukkan.

Itu semua terjadi padahal air hujan yang menyirami dan menjadikannya tumbuh dan akhirnya berbuah adalah sama. Namun dari air yang sama ternyata terlahir hasil yang berbeda-beda. Pernahkah Anda bertanya, mengapa semua itu bisa terjadi?

Saya yakin Anda mengetahui sebabnya:

  1. Asal usul biji yang berbeda
  2. Kesuburan tanah
  3. Dan perawatan serta faktor lingkungan lainnya

Saudaraku, kejadian di atas terjadi dengan sengaja. Allah Ta’ala menciptakan semua itu agar menjadi cermin bagi umat manusia dalam perilaku dan akhlak mereka.

Bila air hujan yang merupakan sumber kehidupan fisik makhluk hidup termasuk manusia menghasilkan buah dan tumbuhan yang berbeda-beda, maka Alquran demikian pula halnya. Alquran yang merupakan sumber kehidupan jiwa juga menghasilkan buah dan tanaman yang beraneka ragam.

Dari umat manusia yang disirami dengan wahyu Allah, ada yang kemudian beriman dan termotivasi untuk beramal sholeh. Dari mereka ada pula yang karena mendapat siraman Alquran malah kufur dan menentang agama Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan dari mereka ada pula yang karena mendapat siraman Alquran, namun karena jiwanya yang kurang bagus, dan lingkungannya yang tidak subur tidak mampu menghasilkan banyak hal.

Fenomena hubungan antara agama yang berperan bagaikan hujan bagi jiwa manusia ini telah dijelaskan oleh Rasulullah e dalam sabdanya,

إِنَّ مَثَلَ مَا بَعَثَنِى اللَّهُ بِهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنَ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَصَابَ أَرْضًا فَكَانَتْ مِنْهَا طَائِفَةٌ طَيِّبَةٌ قَبِلَتِ الْمَاءَ فَأَنْبَتَتِ الْكَلأَ وَالْعُشْبَ الْكَثِيرَ وَكَانَ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتِ الْمَاءَ فَنَفَعَ اللَّهُ بِهَا النَّاسَ فَشَرِبُوا مِنْهَا وَسَقَوْا وَرَعَوْا وَأَصَابَ طَائِفَةً مِنْهَا أُخْرَى إِنَّمَا هِىَ قِيعَانٌ لاَ تُمْسِكُ مَاءً وَلاَ تُنْبِتُ كَلأً فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقُهَ فِى دِينِ اللَّهِ وَنَفَعَهُ بِمَا بَعَثَنِى اللَّهُ بِهِ فَعَلِمَ وَعَلَّمَ وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللَّهِ الَّذِى أُرْسِلْتُ بِهِ

“Gambaran hidayah dan ilmu yang dengannya Allah Azza wa Jalla mengutusku, bagaikan air hujan, yang turun membasahi bumi. Dari bumi yang dibasahi air hujan ada tanah yang subur, sehingga menyerap air dan menumbuhkan tetumbuhan dan rerumputan yang banyak. Ada pula tanah yang keras, namun mampu menahan air, sehingga masyarakat dapat memanfaatkan airnya, mereka minum darinya, menyirami tanamannya dan mencukupi hewan ternaknya. Dan ada pula tanah lain yang tandus nan gersang, tidak dapat menyimpan air dan tidak pula menumbuhkan tumbuhan. Itulah gambaran orang yang memahami agama Allah dan ia mendapatkan manfaat dari agama yang aku diutus Allah denganya, sehingga ia berilmu, dan mengajarkannya. Dan itu pula perumpamaan orang yang sombong tidak perduli dengan agama, dan tidak pula menerima petunjuk Allah yang aku diutus dengannya.” (Muttafaqun ‘alaih)

Bila perbedaan asal-usul biji menghasilkan perbedaan buah, maka demikian pula perbedaan karakter dasar dan sifat keturunan pada manusia. Orang yang mewarisi karakter luhur, maka bila ia mendapat siraman wahyu Allah, maka ia akan menjadi orang mukmin yang jempolan. Namun sebaliknya, orang yang sejak lahir telah mewarisi karakter buruk, maka walaupun telah disirami dengan wahyu Allah, maka ia tidak akan menghasilkan kecuali yang buruk pula.

والناس معادن خيارهم في الجاهلية خيارهم في الإسلام إذا فقهوا

“Manusia bagaikan sumber tambang, sebaik-baik orang semasa jahilliyah, maka biasanya setelah masuk islampun mereka menjadi orang yang paling baik bila menguasai ilmu agama.” (Muttafaqun ‘alaih)

Sebagaimana tumbuhan terpengaruh oleh kondisi sekitarnya, maka demikian pula uamt manusia biasanya diwarnai oleh kondisi rumah tangga, teman karib dan masyarakat sekitarnya. Karena itu Islam menganjurkan agar Anda selektif dalam memilih tetangga, pergaulan dan pasangan hidup.

مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلاَّ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ

“Tidaklah ada anak yang terlahir ke dunia ini melainkan ia terlahir dalam kondisi fitrah (muslim). Namun kemudian kedua orang tuanyalah yang menjadikannya beragama yahudi, nasrani atau mausi.” (Muttafaqun ‘alaih)

Dan pada hadis lain, beliau bersabda,

مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالسَّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ ، فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ ، وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً ، وَنَافِخُ الْكِيرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً

“Permisalan sahabat yang baik dan sahabat yang buruk bagaikan pedagang minyak wangi dan pandai besi. Bersahabat dengan pedagang minyak wangi, menguntungkan, karena ia akan memberimu, atau Anda dapat membeli darinya dan paling kurang Anda mendapatkan darinya aroma harum semerbak. Sedangkan sahabat seorang pandai besi, maka bisa jadi ia membakar bajumu, atau paling kurang engkau mendapatkan bau yang tidak sedap darinya.” (Muttafaqun ‘alaih)

Fenomena ini, membuktikan kepada Anda betapa pentingnya Anda membenahi diri Anda, agar mejadi orang yang berkarakter luhur dan terbebas dari karakter buruk. Dengan demikian siraman rohani berupa lantunan ayat-ayat Alquran, hadis-hadis Nabi e ayat-ayat Allah Ta’ala yang terjadi di alam semesta dapat menyuburkan keimanan dan ketakwaan Anda.

Fungsi Ketujuh: Hujan Adalah Ilustrasi Nyata Tentang Proses Kebangkitan Manusia Pada Hari Kiamat

kebangkitan manusia di hari kiamat

Tidakkah Anda mencermati berbagai ayat yang telah saya ketengahkan ke hadapan Anda di atas? Berbagai ayat yang berbicara tentang hujan senantiasa di akhiri dengan kata-kata “Seperti itulah Kami membangkitkan orang-orang yang telah mati.” Misalnya pada ayat berikut,

وَهُوَ الَّذِي يُرْسِلُ الرِّيَاحَ بُشْرًا بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهِ حَتَّى إِذَا أَقَلَّتْ سَحَابًا ثِقَالاً سُقْنَاهُ لِبَلَدٍ مَّيِّتٍ فَأَنزَلْنَا بِهِ الْمَاء فَأَخْرَجْنَا بِهِ مِن كُلِّ الثَّمَرَاتِ كَذَلِكَ نُخْرِجُ الْموْتَى لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

“Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); hingga apabila angin itu telah membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu, maka Kami keluarkan dengan sebab hujan itu pelbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang-orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran.” (QS. Al A’araf: 57)

Tidakkah Anda amati, betapa biji-bijian yang semasa musim kemarau telah tertanam dalam perut bumi. Sesaat setelah turun hujan, semua bijian tersebut muncul ke muka bumi dan tumbuh subur. Demikian pula yang akan Anda alami kelak pada hari kiamat. Sahabat Abu Hurairah mengisahkan dari Nabi e,

ما بين النفختين أربعون قالوا يا أبا هريرة أربعون يوما ؟ قال أبيت قالوا أربعون شهرا ؟ قال أبيت قالوا أربعون سنة ؟ قال أبيت ثم ينزل الله من السماء ماء فينبتون كما ينبت البقل قال وليس من الإنسان شيء إلا يبلى إلا عظما واحدا وهو عجب الذنب ومنه يركب الخلق يوم القيامة

“Antara dua tiupan sangkakala berjarak selama empat puluh.” Sepontan murid-murid Abu Hurairah bertanya, “Apakah yang dimaksud adalah empat puluh hari?” Abu Hurairah menjawab, “Aku tidak mau menjawab.” Mereka pun kembali bertanya, “Apakah yang dimaksud adalah empat puluh bulan?” Kembali sahabat Abu Hurairah menjawab, “Aku tidak mau menjawab.” Karena ingin tahu, mereka pun kembali bertanya, “Apakah yang dimaksud adalah empat puluh tahun?” Kembali Abu Hurairah berkata, “Aku tidak mau menjawab. Selanjutnya Allah menurunkan hujan dari langit, sehingga mannusia akan tumbuh bagaikan rerumputan tumbuh ketika terkena air hujan. Tidaklah ada organ manusia kecuali akan hancur lebur, kecuali satu tulang saja, yaitu pangkal tulang ekornya. Dariyalah kelak pada hari qiyamat seluruh manusia akan dihidupkan kembali.” (Muttafaqun alaih)

Dalam riwayat lain dinyatakan,

ثُمَّ يُرْسِلُ اللَّهُ مَاءً مِنْ تَحْتِ الْعَرْشِ يُمْنِي كَمَنِيِّ الرَّجُلِ، فَتَنْبُتُ جُسْمَانُهُمْ، وَلُحْمَانُهُمْ مِنْ ذَلِكَ الْمَاءِ ك

“Selanjutnya Allah menurunkan air dari bawah ‘Arsy yang memancar bagaikan air mani kaum lelaki, sehingga tubuh dan daging manusia tumbuh kembali berkat siraman air itu." (Riwayat Al Hakim dan lainnya)

Penutup:

Semoga tulisan ini menggugah iman Anda dan menjadi pelajaran berharga dalam kehidupan Anda. Harapan saya, dengan memahami berbagai fungsi hujan ini, kita dapat mensyukurinya dengan baik, sehingga Allah senantiasa melimpat gandakan nikmat-Nya.

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." (QS. Ibrahim: 7)

Dan semoga hujan yang kini telah banyak menjadi awal dari datangnya petaka bagi bangsa kita, segera kembali seperti sedia kala, menjadi hujan pembawa berkah seperti yang Allah gambarkan melalui lisan Nabi Nuh ‘alaihissalam berikut ini,

فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا {10} يُرْسِلِ السَّمَاء عَلَيْكُم مِّدْرَارًا {11} وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَل لَّكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَل لَّكُمْ أَنْهَارًا

“Maka aku katakan kepada mereka: "Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.(QS. Nuh: 10-12)

Akhirul kalam, mohon maaf atas segala kekurangan dan kekhilafan, wallahu a’alam bisshawab.

Artikel www.PengusahaMuslim.com

Readmore...

Mengenal Hujan (Bagian 2)

 

Di tulisan pertama tempo hari kami jelaskan tentang 3 fungsi hujan. Kita akan lanjutkan beberapa fungsi hujan yang di anugerahkan Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada kita. Diantara fungsinya adalah sebagai ilustrasi nyata tentang metode turunnya rezeki Anda:

Fungsi Keempat: Ilustrasi Nyata Tentang Metode Turunnya Rezeki Anda

Dan diantara hikmah yang dapat Anda petik dari siklus hujan, seperti yang telah Anda pelajari, adalah sebagai ilustrasi nyata bahwa Allah menurunkan rezeki-Nya kepada Anda sedikit demi sedikit. Allah Subhanahu wa Ta’ala melakukan ini semua bukan karena Dia pelit atau kawatir kehabisan stok rezeki, namun sepenuhnya demi menjaga kemaslahatan Anda. Andai Allah Ta’ala meurunkan rezeki-Nya kepada Anda sekonyong-konyong bagaikan turunnya air terjun, niscaya Anda celaka dan binasa. Sebagaimana Anda pasti binasa bila Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan air hujan bagai turunnnya air terjun. Karenanya nikmatilah hidup Anda, karena sejatinya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyiapkan rezeki yang cukup untuk Anda.

Allah Subhanahu wa Ta’ala mengisyaratkan hal ini melalui firman-Nya,

وَلَوْ بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْضِ وَلَكِن يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَّا يَشَاء إِنَّهُ بِعِبَادِهِ خَبِيرٌ بَصِيرٌ {27} وَهُوَ الَّذِي يُنَزِّلُ الْغَيْثَ مِن بَعْدِ مَا قَنَطُوا وَيَنشُرُ رَحْمَتَهُ وَهُوَ الْوَلِيُّ الْحَمِيدُ - الشورى: 27-28

Dan jika Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat. Dan Dialah Yang menurunkan hujan sesudah mereka berputus asa dan menyebarkan rahmat-Nya. Dan Dialah Yang Maha Pelindung lagi Maha Terpuji.(QS. As Syuura 27-28)

Cermatilah saudarakku, setelah Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa Allah menurunkan rezekinya secara bertahap, Allah Ta’ala menyebut hujan sebagai bukti dan sekaligus ilustrasi nyata tentang turunnya rezeki. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Mengetahui lagi Maha Melihat kondisi hamba-hamba-Nya, maka Allah menurunkan hujan dan demikian pula rezekinya secara bertahap, agar manusia tidak celaka.

Bagaimana rasanya bila Allah Subhanahu wa Ta’ala turunkan hujan bagaikan air terun? Atau Allah menyatukan jatah hujan untuk satu bulan lalu diturunkan pada satu hari saja?

Demikian pula halnya dengan jatah rezeki Anda. Anda pasti akan ditimpa celaka bila Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan rezekinya tidak tepat waktu. Anda pasti kesusahan bila Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan seluruh jatah rezeki Anda sekali seumur hidup. Bila hal itu terjadi, pasti Anda kesusahan mencari almari guna menyimpan jatah baju, dan bingung mencari lumbung guna menyimpan jatah beras, dan kesulitan membangun waduk guna menampung jatah air Anda.

Menyadari akan hal ini, Rasulullah e berpesan kepada umatnya dengan bersabda:

لا تستبطئوا الرزق ، فإنه لن يموت العبد حتى يبلغه آخر رزق هو له، فأجملوا في الطلب: أخذ الحلال، وترك الحرام )رواه ابن ماجة وعبد الرزاق والحاكم، وصححه الألباني

"Janganlah kamu merasa bahwa rezekimu telat datangnya, karena sesungguhnya tidaklah seorang hamba akan mati, hingga ia mengenyam rezeki terakhirnya. Tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rezeki, yaitu dengan mengambil yang halal dan meninggalkan yang haram." (Riwayat Ibnu Majah, Abdurrazzaq, Ibnu Hibban, dan Al Hakim, serta dishahihkan oleh Al Albani)

Fungsi Kelima: Hujan Adalah Tentara Allah

Akhir-akhir ini berbagai penjuru negeri kita sering dilanda bencana dan petaka. Salah satu penyebab datangnya bencana ialah air hujan. Fenomena yang sering terjadi di depan mata kita ini adalah bukti nyata bahwa hujan yang sedia kala adalah wujud dari rahmat Allah, namun bisa saja berubah menjadi tentara Allah yang membinasakan orang-orang yang durhaka kepada-Nya. Dengan demikian, hujan bagaikan pisau bermata dua, bisa menguntungkan dan bisa mencelakakan.

Di antara bukti sejarah akan fungsi hujan yang kelima ini ialah kisah Nabi Nuh ‘alaihissalam. Bagaimana dengan hujan yang turun dari langit, Allah Subhanahu wa Ta’ala membalas keangkuhan kaum nabi Nuh ‘alaihissalam .

فَفَتَحْنَا أَبْوَابَ السَّمَاء بِمَاء مُّنْهَمِرٍ {11} وَفَجَّرْنَا الْأَرْضَ عُيُونًا فَالْتَقَى الْمَاء عَلَى أَمْرٍ قَدْ قُدِرَ - القمر: 11-12

“Maka Kami bukakan pintu-pintu langit dengan (menurunkan) air yang tercurah. Dan Kami jadikan bumi memancarkan mata air-mata air maka bertemulah air-air itu untuk satu urusan yang sungguh telah ditetapkan.” (QS. Al Qamar: 11-12)

Dan seperti yang Anda saksikan dan mungkin juga pernah rasakan, bila hujan telah berubah menjadi tentara Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka tidak ada kekuatan yang dapat membendungnya.

وَنَادَى نُوحٌ ابْنَهُ وَكَانَ فِي مَعْزِلٍ يَا بُنَيَّ ارْكَب مَّعَنَا وَلاَ تَكُن مَّعَ الْكَافِرِينَ {42} قَالَ سَآوِي إِلَى جَبَلٍ يَعْصِمُنِي مِنَ الْمَاء قَالَ لاَ عَاصِمَ الْيَوْمَ مِنْ أَمْرِ اللّهِ إِلاَّ مَن رَّحِمَ وَحَالَ بَيْنَهُمَا الْمَوْجُ فَكَانَ مِنَ الْمُغْرَقِينَ

Dan Nuh memanggil anaknya sedang anak itu berada di tempat yang jauh terpencil: "Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir. Anaknya menjawab: "Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!" Nuh berkata: "Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang". Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.(QS. Hud: 42-43)

Memahami fungsi hujan yang bagaikan pisau bermata dua, dahulu Nabi e bila menyaksikan mendung beliau begitu kawatir dan berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan berkata,

اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا

“Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan mendung ini.”

dan bila hujan telah turun beliau berdoa,

اللهُم صَيباً نَافعاً

“Ya Allah jadikanlah hujan ini hujan yang bermanfaat.” (HR. Bukhari, Abu Daud, dan lainnya.

Saudaraku, fenomena yang sekarang terjadi di negeri kita sudah sepantasnya mengetuk pintu hati kita. Betapa negeri kita yang dahulu gemah ripah loh jinawi namun sekarang semua seakan tinggal kenangan. Di musim kemarau, sawah-sawah puso dan banyak dari saudara kita yang kekeringan sehingga kesulitan mendapatkan air, walau hanya sekedar untuk minum. Namun di musim hujan kondisi ternyata tidak berubah, sawah-sawah tetap saja banyak yang puso dan banyak dari saudara kita yang menderita, bukan karena kekeringan namun karena kebanjiran, tanah longsor atau lainnya.

Mungkinkah ini sebagai bukti nyata bahwa air hujan yang sedianya membawa keberkahan, kini tidak lagi membawanya, namun sebaliknya membawa murka Allah Azza wa Jalla. Tentu semua ini terjadi karena ulah tangan kita, kekufuran, kemunafikan, dan kemaksiatan yang kian hari semakin meraja lela.

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

"Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).(QS. Ar Ruum: 41)

Saat ini, kita sebagai penduduk dunia tengah merasakan dampak dari ulah tangan kita sendiri, kekeringan, banjir, dan tanah longsor, terjadi di mana-mana. Walau demikian, kita tidak segera menyadari kesalahan, dan bahkan terus mencari kambing hitam atas petaka yang menghimpit. Bukannya mengakui bahwa kerusakan iman, akhlak, dan mentalitas kita adalah biang segalanya. Namun kita malah mengkambing hitamkan alam, sehingga dengan hati yang dingin kita berkata, “Pemanasan global atau ungkapan serupa.”

Keserakahan telah mendorong kita untuk bersikap membabi buta, menghalalkan segala macam cara dan memanfaatkan kekayaan alam dengan cara-cara yang tidak bertanggung jawab. Keserakahan ini terjadi karena adanya kepanikan dalam urusan rezeki. Kita menduga bahwa bila tidak membabi buta maka tidak mungkin bisa menikmati kekayaan, atau akan digilas oleh roda kehidupan yang terus berputar.

Andai kita dapat menangkap berbagai pelajaran yang telah Allah Ta’ala sisipkan pada berbagai kejadian di sekitar kita niscaya petaka tidak akan mengimpit kehidupan kita. Rezeki Anda hanya Anda yang dapat menikmatinya, dan tidak mungkin ada kekuatan yang dapat merampasnya dari mulut Anda. Sebagaimana Anda pun tidak akan kuasa merampas rezeki saudara Anda, atau mendatangkan rezeki yang bukan milik Anda.

Kerakusan yang telah menyelimuti jiwa kita ini bukannya menyegerakan datangnya rezeki atau melipatgandakannya. Namun keserakahan jiwa malah menjadi awal dari datangnya bencana dan petaka.

إن هذا المال خضرة حلوة، فمن أخذه بسخاوة نفس، بورك له فيه، ومن أخذه بإشراف نفس لم يبارك له فيه، وكالذي يأكل ولا يشبع )متفق عليه

“Sesungguhnya harta ini bak bauh yang segar lagi manis. Barangsiapa yang mengambilnya dengan tanpa ambisi (tanpa serakah atau atas kerelaan pemiliknya), niscaya hartanya tersebut diberkahi. Dan barang siapa yang mengambilnya dengan penuh rasa ambisi (rakus), niscaya hartanya tersebut tidak diberkahi, dan permisalannya bagaikan orang yang makan namun tidak pernah merasa kenyang.." (Muttafaqun 'alaih)

Artikel www.PengusahaMuslim.com


Readmore...

Mengenal Hujan (Bagian 1)

 

Pendahuluan:

Alhamdulillah, shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga, dan sahabatnya.

Saya yakin, masih segar diingatan Anda bagaimana susahnya hidup dalam kondisi kekeringan. Tanah berdebu, tanaman menjadi kering, sumber-sumber air susut, dan cuaca pun terasa panas menyengat. Namun kini, semuanya telah berubah, tanah menjadi becek, pemandangan hijau nan indah di mana-mana, genangan air dengan mudah Anda temui, dan suhu udara pun terasa sejuk atau dingin. Tahukah Anda, apa penyebab terjadinya perubahan tersebut? Semua itu terjadi berkat hujan yang Allah Ta’ala turunkan untuk hamba-hamba-Nya.

اللَّهُ الَّذِي يُرْسِلُ الرِّيَاحَ فَتُثِيرُ سَحَابًا فَيَبْسُطُهُ فِي السَّمَاء كَيْفَ يَشَاء وَيَجْعَلُهُ كِسَفًا فَتَرَى الْوَدْقَ يَخْرُجُ مِنْ خِلَالِهِ فَإِذَا أَصَابَ بِهِ مَن يَشَاء مِنْ عِبَادِهِ إِذَا هُمْ يَسْتَبْشِرُونَ {48} وَإِن كَانُوا مِن قَبْلِ أَن يُنَزَّلَ عَلَيْهِم مِّن قَبْلِهِ لَمُبْلِسِينَ {49} فَانظُرْ إِلَى آثَارِ رَحْمَتِ اللَّهِ كَيْفَ يُحْيِي الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا إِنَّ ذَلِكَ لَمُحْيِي الْمَوْتَى وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ. )الروم: 48-50

“Allah, Dialah yang mengirim angin, lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit menurut yang dikehendaki-Nya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal; lalu kamu lihat hujan ke luar dari celah-celahnya, maka apabila hujan itu turun mengenai hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya tiba-tiba mereka menjadi gembira. Dan sesungguhnya sebelum hujan diturunkan kepada mereka, mereka benar-benar telah berputus asa. Maka perhatikanlah bekas-bekas rahmat Allah, bagaimana Allah menghidupkan bumi yang sudah mati. Sesungguhnya (Tuhan yang berkuasa seperti) demikian benar-benar (berkuasa) menghidupkan orang-orang yang telah mati. Dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Ar Rum: 48-52)

Saudaraku, izinkan saya mengajukan satu pertanyaan kepada Anda, “Pernahkah Anda merenungkan fungsi turunnya hujan? “

Mungkin dengan cepat Anda berkata, “Hujan turun untuk menumbuhkan tumbuhan, dan mencukupi kebutuhan makhluk hidup akan air.”

Jawaban Anda benar, namun untuk dapat menjawab seperti itu tidak perlu merenung atau berpikir panjang. Bahkan semua makhluk hidup pasti mengetahui atau merasakan hal tersebut. Namun yang saya ingin adalah jawaban spesial yang mencerminkan kepedulian dan kepekaan Anda terhadap berbagai kejadian yang ada di sekitar Anda.

Melalui tulisan ini, saya mengajak Anda untuk merenungkan fungsi hujan secara utuh, sehingga Anda dapat mensikapi hujan dengan baik. Dengan demikian, Anda semakin merasakan nikmatnya setiap tetesan air yang menyirami negeri Anda. Dan selanjutnya hujan yang menyirami negeri Anda senantiasa membawa berkah.

وَنَزَّلْنَا مِنَ السَّمَاء مَاء مُّبَارَكًا فَأَنبَتْنَا بِهِ جَنَّاتٍ وَحَبَّ الْحَصِيدِ {9} وَالنَّخْلَ بَاسِقَاتٍ لَّهَا طَلْعٌ نَّضِيدٌ {10} رِزْقًا لِّلْعِبَادِ وَأَحْيَيْنَا بِهِ بَلْدَةً مَّيْتًا كَذَلِكَ الْخُرُوجُ )ق: 9-11

“Dan Kami turunkan dari langit air yang membawa keberkahan (banyak manfaatnya) lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-biji tanaman yang dipanen, dan pohon kurma yang tinggi-tinggi yang mempunyai mayang yang bersusun-susun, agar menjadi rezeki bagi hamba-hamba (Kami), dan Kami hidupkan dengan air itu tanah yang mati (kering), seperti itulah terjadinya kebangkitan.” (QS. Qaaf: 9-11)

Fungsi Pertama: Menghidupkan Tumbuhan

Sehebat apapun Anda dalam memelihara tumbuhan, namun bila tanpa air, mustahil rasanya tumbuhan Anda bisa hidup, terlebih membuahkan hasil. Karenanya, tidak dapat Anda pungkiri setelah turunnya hujan, berbagai tumbuhan yang sebelumnya telah mati dan tertimbun dalam perut bumi, sekejap menjadi hidup dan tumbuh dengan subur.

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنَّكَ تَرَى الْأَرْضَ خَاشِعَةً فَإِذَا أَنزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاء اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ إِنَّ الَّذِي أَحْيَاهَا لَمُحْيِي الْمَوْتَى إِنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ
قَدِيرٌ. فصلت: 31

"Dan sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan) ya bahwa kamu melihat bumi itu kering tandus, maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya Tuhan Yang menghidupkannya tentu dapat menghidupkan yang mati; sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS. Fusshilat: 39)

fungsi hujan

Semasa kemarau, banyak dari tumbuhan yang mati, dan hanya menyisakan biji-bijiannya yang tertanam jauh dalam perut bumi. Dan bahkan banyak tumbuhan berbatang besar pun seakan mati, sehingga tidak sehelai daun pun menghiasi dahan dan rantingnya. Ketika Anda melihat kondisi semacam ini, sebagaimana yang terjadi beberapa waktu silam, mungkin Anda mengatakan bahwa tumbuh-tumbuhan itu telah mati, dan mungkin tidak akan hidup kembali. Namun kini praduga Anda tersebut terbukti tidak benar.

وَهُوَ الَّذِي يُرْسِلُ الرِّيَاحَ بُشْرًا بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهِ حَتَّى إِذَا أَقَلَّتْ سَحَابًا ثِقَالاً سُقْنَاهُ لِبَلَدٍ مَّيِّتٍ فَأَنزَلْنَا بِهِ الْمَاء فَأَخْرَجْنَا بِهِ مِن كُلِّ الثَّمَرَاتِ كَذَلِكَ نُخْرِجُ الْموْتَى لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

“Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); hingga apabila angin itu telah membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu, maka Kami keluarkan dengan sebab hujan itu pelbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang-orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran.” (QS. Al A’araf: 57)

Fungsi kedua: Sumber Minuman Makhluk Hidup

Semua makhluk yang hidup di muka bumi ini terlebih yang bernyawa tidak mungkin dapat mempertahankan hidupnya tanpa air minum. Karenanya air minum adalah kebutuhan primer setiap makhluk. Karena demikian ini perihal makhluk hidup, maka ketika awal menciptakan bumi, Allah Ta’ala menyiapkan segalanya, air minum dan tumbuh-tumbuhan. Ini semua demi menjaga kelangsungan hidup manusia secara khusus dan seluruh makhluk bernyawa secara umum.

وَالْأَرْضَ بَعْدَ ذَلِكَ دَحَاهَا {30} أَخْرَجَ مِنْهَا مَاءهَا وَمَرْعَاهَا {31} وَالْجِبَالَ أَرْسَاهَا {32} مَتَاعًا لَّكُمْ وَلِأَنْعَامِكُمْ

“Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya. Ia memancarkan daripadanya mata airnya dan (menumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya. Dan gunung-gunung dipancangkan-Nya dengan teguh, (semua itu) untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu.” (QS. An Naziaat: 30-33)

Maha Suci Allah yang telah menyiapkan segala yang mejadi kebutuhan makhluk-Nya, sebelum mereka memintanya. Tidak diragukan fakta ini bukti kuat akan kemurahan Allah Ta’ala yang banyak dilupakan oleh manusia.

Fungsi ketiga : Mengingatkan Anda Akan Kuasa Allah Azza wa Jalla

Semasa duduk di bangku SD, Anda telah diajari bagaimana proses hujan bisa terjadi. Berawal dari air laut yang menguap, hingga menjadi awan, dan kemudian di bawa oleh angin hingga akhirnya turun kembali ke bumi dalam bentuk hujan. Dan mungkin pelajaran tentang proses terjadinya hujan ini, menghantarkan Anda pada satu kesimpulan, yaitu hujan adalah satu proses alami. Bukankah demikian saudaraku?

Namun sekarang, setelah dewasa dan mungkin mengenyam pendidikan tinggi, atau menjadi seorang ilmuan, dan kenyang dengan asam garam kehidupan, masihkan Anda menerima begitu saja kesimpulan di atas? Tidakkah pernah terbetik di pikiran Anda keinginan untuk merenungkan kembali kesimpulan Anda?

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْبَحْرِ بِمَا يَنفَعُ النَّاسَ وَمَا أَنزَلَ اللّهُ مِنَ السَّمَاء مِن مَّاء فَأَحْيَا بِهِ الأرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا مِن كُلِّ دَآبَّةٍ وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخِّرِ بَيْنَ السَّمَاء وَالأَرْضِ لآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَعْقِلُونَ

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering) -nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; Sungguh (terdapat) tAnda-tAnda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (QS. Al Baqarah: 164)

Mungkin pertanyan-pertanyaan berikut sidikit membantu Anda dalam memikirkan kembali teori hujan yang telah Anda pelajari semasa duduk di bangku SD.

Mengapa air laut menguap ketika disinari oleh matahari?

Mengapa yang menguap hanya airnya saja, sedangkan kandungan garamnya tidak turut menguap.

Ketika air disinari matahari, mengapa naik ke langit dalam bentuk uap, namun ketika turun kembali turun dalam bentuk tetesan?

Dan mengapa uap air yang telah membeku di awan, ketika turun tidak pernah mengalir bak air terjun, akan tetapi sejak dahulu kala hujan turun dalam bentuk tetesan?

Mengapa ketika air hujan turun tidak turun dalam bentuk uap sebagaimana ketika terangkat ke awan?

Setelah Anda merenungkan berbagai pertanyaan di atas, silahkan Anda lanjutkan renungan Anda dengan menyelami kandungan ayat-ayat berikut:

أَفَرَأَيْتُمُ الْمَاء الَّذِي تَشْرَبُونَ {68} أَأَنتُمْ أَنزَلْتُمُوهُ مِنَ الْمُزْنِ أَمْ نَحْنُ الْمُنزِلُونَ {69} لَوْ نَشَاء جَعَلْنَاهُ أُجَاجًا فَلَوْلَا تَشْكُرُونَ . الواقعة: 68-70

“Maka terangkanlah kepadaku tentang air yang kamu minum. Kamukah yang menurunkannya dari awan ataukah Kami yang menurunkan? Kalau Kami kehendaki niscaya Kami jadikan dia asin, maka mengapakah kamu tidak bersyukur?” (QS. Al Waqi’ah: 68-70)

Mungkin ini salah satu pelajaran yang dapat kita petik dari beberapa ayat Alquran yang berbicara tentang hujan. Pada ayat-ayat tersebut diakhiri dengan kata-kata “sejatinya Allah Maha Kuasa Atas Segala Sesuatu”, sebagaimana pada ayat 50 surat Ar Rum dan ayat 31 surat Fusshilat di atas.

Saudaraku, Kemajuan ilmu dan teknologi memang dalam banyak hal menguntungan umat manusia. Namun di sisi lain, tanpa Anda sadari menjadikan Anda mudah lalai dari Allah Azza wa Jalla. Akibatnya, berbagai tanda kekuasaan Allah Ta’ala yang ada di sekitar Anda kini seakan tidak berarti bagi Anda. Karena kronologi terjadinya berbagai kekuasaan Allah, semacam gerhana matahari, turunnya hujan, gempa bumi, dan lainnya, hati Anda tidak tersentuh ketika menyaksikannya. Kini Anda sering menamakan berbagai kejadian itu sebagai fenomena alam atau ungkapan serupa.

Tidak diragukan, sikap Anda ini mencerminkan jauhnya diri Anda dari sentuhan nilai-nilai iman kepada Allah Azza wa Jalla. Sebagai buktinya, ketika turun hujan, Anda tidak lagi peka bahwa hujan adalah kuasa Allah, bahkan lebih jauh Anda mengganggap hujan sebagai siklus alam. Hujan turun karena musimnya telah tiba dan berhenti ketika musim kemaru telah tiba pula. Hanya sampai disini keyakinan dan tanggapan Anda. Entah mengapa Anda tidak melanjutkan komentar Anda dengan satu pertanyaan: siapakah yang mengatur musim, dan menciptakan serta mengatur perputaran matahari?

Menyadari akan adanya peluang terjadinya kemalasan berpikir semacam ini, Rasulullah e merasa perlu untuk memperingatkan para sahabatnya.

عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِىِّ أَنَّهُ قَالَ صَلَّى لَنَا رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - صَلاَةَ الصُّبْحِ بِالْحُدَيْبِيَةِ عَلَى إِثْرِ سَمَاءٍ كَانَتْ مِنَ اللَّيْلَةِ ، فَلَمَّا انْصَرَفَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَقَالَ « هَلْ تَدْرُونَ مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ » . قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ . قَالَ « أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِى مُؤْمِنٌ بِى وَكَافِرٌ ، فَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِى وَكَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ ، وَأَمَّا مَنْ قَالَ بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا فَذَلِكَ كَافِرٌ بِى وَمُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ

Sahabat Zaib bin Khalid Al Juhani menuturkan, “Seusai shalat shubuh pada suatu pagi yang pada malam harinya kami diguyur hujan, Rasulullah e menghadap kepada kami dan bertanya, “Tahukah kalian apa yang difirmankan Allah?” Sepontan para sahabat menjawab, “Hanya Allah dan rasulul-Nya yang mengetahui. Allah berfirman, “Pada pagi ini, ada dari hambaku yang beriman kepada-Ku dan juga kafir.” Adapun yang mengatakan,

مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ

“Kami mendapat karunia hujan karena kemurahan Allah dan kasih sayang-Nya” maka ia beriman kepada-Ku dan kafir kepada bintang. Sedangkan orang yang berkata, “Kami mendapat hujun karena bitang ini dan bintang itu telah terbit (musim pernghujan telah tiba), maka ia telah kafir kepada-Ku dan beriman kepada bintang.” (Muttafaqun ‘alaih)

Demikianlah ucapan yang biasa terucap dari lisan kita setiap kali hujan turun: “Hujan terus menerus karena musim penghujan telah tiba.” Namun jarang dari kita yang menyadari bahwa hujun turun murni karena perintah dan karunia Allah. Kita melalaikan Allah dan senantiasa mengingat musim, padahal Allah telah buktikan bahwa musim bisa berubah-rubah sehingga turunnya hujan tidak menentu, sebagaimana yang terjadi pada akhir-akhir ini.

Saudaraku, Sebagai umat yang beriman, marilah kita kembali ke jalan Allah, sehingga kita dapat memandang dan menilai segala urusan dengan cara pandang seorang yang beriman.

Artikel www.PengusahaMuslim.com

Readmore...
sunnah

blog copas