Belajar Tawakal Kepada Burung

 


Oleh Ustadz Resa Gunarsa, Lc.
tawakal burungDari Umar bin Khattab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kamu tawakal kepada Allah dengan ketawakalan yang sungguh-sungguh, maka Allah akan memberikan rizkikepadamu seperti Allah memberikan rezeki kepada burung, pergi pagi dalam keadaan lapar dan pulang petang dalam keadaan kenyang.” (Hadis riwayat Tirmidzi)
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, “Akan masuk surga orang-orang yang hati mereka seperti hati burung” (Hadis riwayat Muslim) Orang-orang yang bertawakallah yang dimaksud hati mereka seperti hati burung.
Demikian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji perangai burung yang senantiasa tawakal dalam usahanya mengais rizki Allah di dunia ini. Hingga beliau menasehatkan umatnya untuk mencontoh binatang yang selalu ada di sekitar kita itu. Ini menunjukkan, bahwa sesungguhnya alam sekitar dapat menjadi guru kehidupan, tentu hanya bagi orang-orang yang mau mengambil pelajaran.
Secara khusus, hadis ini mengajarkan kita tentang tawakal. Para ulama mendefinisikan tawakal sebagai, “Kesungguhan hati dalam bersandar kepada Allah ‘azza wa jalla dalam mendatangkan kemaslahatan dan mencegah dari bahaya pada semua urusan dunia dan akhirat, bersandar dalam semua perkara kepada-Nya serta beriman dengan sungguh-sungguh bahwa tidak ada yang dapat memberi dan mencegah, mendatangkan manfaat dan bahaya selain-Nya.”
Diantara nama Allah adalah “Al-Wakiil”. Ibnul Atsir mengatakan bahwa makna nama Allah “Al-Wakil” adalah: Allah satu-satunya yang menjamin dan memberikan rizki bagi hamba-hambanya, Dia menyendiri dalam segala hal yang dijaminnya.
Al-Ghazali menyatakan bahwa “Al-Wakiil” adalah Yang disandarkan kepada-Nya segala urusan.
Tanpa tawakal, kegiatan usaha untuk mendapatkan rizki akan mendatangkan ragam malapetaka. Penyelewengan manusia dalam orientasi mencari rizki terjadi ketika kekuatan tawakal sangat lemah. Orientasi dalam mencari rizki menjadi pragmatis, yang dicita-citakan menjadi hanya sebatas perolehan nominal, bukan lagi keberkahan dan manfaat.
Orang yang mengalami disorientasi dalam soal rizki ini, kelak tidak akan segan-segan mengusahakan penghasilannya dari jalan yang tidak diridhoi oleh Allah. Ia tidak akan peduli lagi dengan cara halal atau haram. Yang penting baginya adalah meraup keuntungan sebesar-besarnya. Padahal Allah berfirman,
Maka sesuatu yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia; dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakkal.” (QS As-Syura: 36)  
Orang-orang tawakal yakin bahwa rizki di dunia ini milik Allah, Allah yang membagi-baginya kepada siapa saja yang Allah kehendaki. Sementara rizki-Nya di akhirat kelak jauh lebih baik dan kekal.
Tawakal adalah ciri orang beriman. Allah berfirman, Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal.” (QS Ali ‘Imran: 122)
Namun, sikap tawakal tentu bukan berarti pasrah menunggu dan berpangku tangan. Tawakal justru disertai kerja dan usaha. Tawakalbersifat aktif dan tidak pasif. Bekerja sama sekali tidak menafikan nilai tawakal.
Pada hadis tentang burung di atas terdapat dalil atas hal ini. “Pergi pagi dalam keadaan lapar dan pulang petang dalam keadaan kenyang.” Mubarakfuri berkata, “Hadis ini mengisyaratkan bahwa tawakal bukanlah dengan diam menganggur, tapi berusaha untuk mencari sebab, karena burung itu diberi rizki dengan berusaha dan mencari. Oleh karena itu Imam Ahmad berkata, “Hadis ini tidak manunjukkan atas meninggalkan usaha, akan tetapi padanya justru terdapat dalil atas mencari rizki.” (Tuhfah al-Ahwadzi)
Ibnu Abbas mengisahkan, “Dahulu penduduk Yaman berhaji tanpa membawa perbekalan. Mereka berkata, “kami bertawakal”. Sesampainya di Mekkah, mereka meminta-minta kepada orang lain. Lalu turunlah firman Allah, Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa (Hadis riwayat Bukhari)
Oleh karena itu para ulama menjelaskan bahwa tawakal harus dibangun diatas dua pilar: (1) Bersandar kepada Allah. (2) Mengupayakan sebab yang dihalalkan. Orang berupaya menempuh sebab saja namun tidak bersandar kepada Allah, maka berarti ia cacat tauhidnya. Adapun orang yang bersandar kepada Allah namun ia tidak berusaha menempuh sebab yang dihalalkan, maka ia berarti cacat akalnya***Wallahu a’lam bish-shawab
Abu Khaleed Resa Gunarsa – Subang, 18 Ramadhan 1432 H

Artikel www.salafiyunpad.wordpress.com, disalin dari facebook Ustadz Abu Khaleed Resa Gunarsa hafizhahullah

sunnah

blog copas