Bagaimana Mengetahui Salaf Hidup Dengan Al-Qur'an

 
Al-Qur’an Al-Karim adalah ruh penghibur seorang mukmin dalam mengarungi hidup yang berat dibumi ini. Ia adalah cahaya yang meneranginya dan memberinya petunjuk ke jalan yang benar di tengah-tengah kegelapan Jahiliyah yang tebal. Ia adalah cahaya bagi orang yang mengamalkannya di dunia, cahaya di kuburnya dan cahaya di atas shirath (titian) pada hari Kiamat.

Ketika para salafush Shalih menyadari hakikat ini, mereka lalu hidup bersama Al-Qur’an dan dibawah naungannya. Kepada Al-Qur’an mereka kembali, dan darinya mereka bertolak. Al-Qur’an adalah teman mereka pada waktu menyendiri. Ia adalah teman mereka pada waktu berkumpul. Landasan dan pemimpin mereka dalam segenap urusan hidup. Marilah kita melihat bagaimana Salafus Shalih hidup bersama Al-Qur’an, Kalamulloh yang Maha Pengasih dan Maha Berkuasa.

Usman bin Affan Rhadiallohu Anhu mengkhatamkan Al-Qur’an setiap tujuh malam. (diriwayatkan Abu Dawud di kitab Al-Mashahif, An-Nawawi di Al-Adzkar berkata, “Sanadnya shahih.” 1/229)

Imam An-Nawawi Rahimahulloh berkata,”Banyak orang dari kalangan Salaf yang mengkhatamkan Al-Qur’an sekali dalam seminggu. Ini dinukil dari Usman, Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Ubay bin Kaab dan beberapa tabiin.” (Al-Adzkar, An-Nawawi 1/229) Dimana kita dibanding mereka? Bagaimana keadaan kita?

Al-Hasan Al-Bashri Rahimahulloh mengkhatamkan AL-Qur’an sekali dalam sepuluh malam. (Disebutkan Abu Dawud di kitab Al-Mashahif dan dinukil oleh An-Nawawi di Al-Adzkar,1/228)

Al-Fudhail bin Iyad Rahimahulloh berkata,” Abu Ishak As-Subai’i Rahimahulloh, mengkhatamkan Al-Qur’an dalam tiga hari.” (Siyar A’lamin Nubala, Adz-Dzahabi, 5/394). Kira-kira dimana keluarga Al-Qur’an zaman ini? Dimana orang-orang yang merasakan pengawasan Alloh dan siap berbuat kebajikan?

Abul Ahwashberkata,” Abu Ishak As-Subai’i berkata kepada kami,’Hai para pemuda, manfaatkanlah (kekuatan dan usia muda kalian). Tidak ada malam yang berlalu kecuali saya membaca seribu ayat. Dan sesungguhnya saya membaca Al-Baqarah dalam satu rakaat. Saya berpuasa di bulan-bulan haram, tiga hari setiap bulan serta Senin dan Kamis.” (Siyar A’lamin Nubala, Adz-Dzahabi, 5/397). Hai pemuda islam, inilah ibadah Abu Ishak pada waktu lanjut usia, lantas bagaimana dengan kita para pemuda yang kuat-kuat?

Ali bin Al-Madini Rahimahulloh berkata,”Suatu malam saya menginap di rumah Ismail bin Ulaiyyah, dia membaca sepertiga Al-Qur’an dalam semalam.” (Al-Manhajul Ahmad fi Tarajim Ashabil Imam Ahmad, Al-Ulaimi)

Al-Musayyib bin Rafi Al-Asadi, Thalhah bin Musharrif dan Habib bin Abu Tsabit Rahimahulloh, mereka semua mengkhatamkan Al-Qur’an dalam setiap tiga malam.” (Qiyamul Lail, Al-Marwazi)

Tatkala maut menjemput seorang hamba shalih Abdullah bin Idris Rahimahulloh, putrinya pun menangis. Dia berkata kepada putrinya, “Jangan menangis. Sungguh saya telah mengkhatamkan Al-Qur’an di rumah ini sebanyak empat ribu kali.” (Syarah Shahih Muslim, An-Nawawi, 1/78)

Ketika seorang hamba shalih, Abu Bakar bin Ayyasy Rahimahulloh dijemput kematiannya, saudara perempuannya menangisinya. Dia berkata kepadanya,”Apa yang membuatmu menangis? Lihatlah sudut rumah itu. Disitu saya telah mengkhatamkan Al-Qur’an sebanyak delapan belas ribu kali.”(Siyar A’lamin Nubala, 8/504). Dengarkanlah hai pemalas! Inilah semangat mereka! Inilah bekal orang-orang shalih! Lalu bekal apakah yang telah anda persiapkan untuk dirimu sendiri?

Dari Ibnu Wahab berkata,”Saya bertanya kepada saudara perempuan Imam Malik bin Anas Rahimahulloh, Apa kesibukan Malik di rumah?’ Dia menjawab,”Mushaf dan tilawah (membaca Al-Qur’an).”(Siyar A’lamin Nubala, Adz-Dzahabi, 8/111)

Abdullah bin Imam Ahmad Rahimahulloh berkata,”Setiap hari ayahku membaca sepertujuh Al-Qur’an (yakni, lebih dari empat juz). Beliau mengkhatamkan Al-Qur’an setiap minggu.” (Siyar A’lamin Nubala, Adz-Dzahabi, 11/214).

Al-Hasan Al-Bashri Rahimahulloh berkata,” Umar membaca satu ayat pada waktu qiyamul lail, lalu dia menangis sampai terjatuh. Dia tetap dirumah sehingga di jenguk karena sakit.” (Manaqib Umar bin Al-Khatab, Ibnul Jauzi, hlm.168).

Abu Musa Al-Asy’ari Rahimahulloh berkata,” Al-Qur’an adalah kekayaan bagi kalian, tambah pahala bagi kalian, dan bisa menyebabkan kalian berdosa. Maka ikutilah A-Qur’an. Karena barangsiapa yang mengikutinya, niscaya ia akan membawanya ke kebun surga.” (Qiyamul Lail, Al-Marwazi)

Bacalah ucapan Ibnul Jauzi ini, “Nasihat-nasihat Al-Qur’an adalah obat bagi penyakit hati. Dalil-dalinya cukup bagi orang yang mencari kebenaran. Dimanakah orang-orang yang meniti jalan keselamatan? Mengapa saya melihat jalan itu sepi dari mereka?” (At-Tabshirah, Ibnul Jauzi, 1/71).

Saudaraku, hai pemilik jiwa yang lalai, engkau membaca Al-Qur’an sementara jiwamu tidur. Berapa banyak Al-Qur’an memperingatkanmu dari kebinasaan? Apakah ia tidak memberitahukan kepadamu bahwa tiang-tiang kehidupan adalah lemah? Apakah ia tidak memberitahukan kepadamu bahwa umur ada batasnya? Apakah engkau tidak mempunyai jiwa yang mencegahmu dari dosa-dosa?” (At-Tabshirah, Ibnul Jauzi, 1/101).

Judul asli :
١٢٥ طرييقة لححفظ االوقت
(125 Kiat Salaf Menjadikan Waktu Produktif)
Penulis :
ابوالقعقاع محمد بن صالح ال عبد الله
(Abul Qa’qa’Muhammad bin Shalih alu ‘Abdillah)

Penerjemah:
Izzudin Al-Karimi, Lc

Penerbit :
Pustaka Elba
Diposkan Oleh Ibnu Abdirrahman

http://sunnahkami.blogspot.com

Masukan ini dipos pada Januari 31, 2011 4:04 pm dan disimpan pada Nasehat dengan kaitan (tags) Nasehat. Anda dapat mengikuti semua aliran respons RSS 2.0 dari masukan ini Anda dapat memberikan tanggapan, atau trackback dari situs anda. Ubah tulisan ini.
Readmore...

Menyingkap Konspirasi Terselubung Syi’ah Iran

 
Sejak bergulirnya revolusi Iran dibawah kepemimpinan Imam Khomeini, Iran berubah menjadi sebuah Negara digdaya di kawasan Arab. Kekuatan militer mereka berkembang pesat. Pun, mereka kerap melayangkan kritik tajam terhadap kebijakan-kebijakan barat yang diskriminatif, dimana hanya negara- negara yang bernyali yang bisa melakukan hal tersebut. Tak pernah gentar terhadap gertakan Negara adidaya AS seputar pengembangan teknologi nuklirnya. Dan seringkali pula menunjukkan kepeduliannya atas negeri-negeri muslim yang lemah dan terjajah, walaupun hanya sekedar memberikan komentar pedas dalam forum-forum dunia. Dan begitu besar sikap permusuhannya terhadap Israel Yahudi yang telah banyak menelan jiwa kaum muslimin. Sepak terjang Iran telah banyak menarik simpati kaum muslimin dunia.


Pasca runtuhnya kekhilafahan Turki Utsmani, kaum muslimin telah kehilangan pelindungnya. Dan kini Iran muncul menentang kezhaliman dunia Barat (kafir) terhadap dunia Islam ditengah kebisuan dan ketidakberdayaan para pemimpin-pemimpin negeri Arab. Hmmm.. Apakah Iran akan menjadi bagian dari seri sejarah keperkasaan Islam? Secara kasat mata memang seperti itulah adanya. Namun sejarah telah berkata lain tentang Iran yang berakidahkan Syiah Ghulat (Rafidhah). Lihatlah bagaimana syiah mempunyai andil atas terbunuhnya sahabat Rosululloh shalallohu alaihi wa sallam yang mulia, Ali bin Abi Thalib. Begitu juga pengkhianatan mereka atas Husein rodhiallohu ‘anhu. Dan tak akan hilang dari catatan sejarah bagaimana syiah berkonspirasi dengan pasukan Tar-Tar untuk mengkudeta kepemimpinan Harun Ar-Rasyid. Sejarah justru bertutur bahwa Syiah adalah musuh besar bagi kaum muslim sunni. Lalu bagaimana dengan Syiah Iran saat ini? Tindak-tanduknya memang terlihat pro terhadap Islam, tapi wajib diketahui bahwa orang-orang syiah adalah orang-orang yang pendusta. Saat ini mereka berkata A, sedetik kemudian mereka berpaling akan berubah menjadi B. Hal ini karena mereka memasukkan dusta sebagai bagian dari akidah (taqiyah). (Al-kafi: 2/219) Banyak fakta telah terungkap bahwa pada kenyataannya permusuhan Iran justru tertuju kepada Islam itu sendiri. Lihatlah di Ibukota Iran, Teheran. Silahkan Anda hitung berapa banyak Masjid-Masjid Sunni jika dibandingkan dengan Sinagog (tempat peribadatan orang-orang Yahudi) ?! Tidak ada satupun Masjid sunni berdiri disana, justru Sinagog bertebaran hingga lebih dari 45 buah! Padahal populasi muslim sunni di Iran adalah terbesar kedua setelah Syiah. Itu hanya secuil bukti ketimpangan amal perkataan dengan fakta lapangan. (sm) Mungkin banyak juga yang belum tahu kalau Imam Khomeini memimpin Revolusi dari tempat pengasingannya di Perancis. Tapi pasti kaum muslimin tahu kalau Perancis dan AS adalah sekutu intim. Tentu ada permainan diantara mereka bertiga; Khomeini, Perancis dan AS (dalam hal ini CIA). Pun pada masa kekuasaannnya Khomeni, Iran telah bermesraan dengan AS dan Israel. Kita bisa ketahui hal ini dalam kasus skandal “Iran kontra”. Dan mungkin tidak banyak orang tahu kalau yang memuluskan jalan Amerika untuk menyerang Irak yang mayoritas Sunni salahsatunya adalah Syiah Iran. Syiah Iran mengizinkan kapal induk Amerika memasuki wilayah perairan Teluk Persia Iran dan menjadikannya sebagai basis militer angkatan laut dan udara Amerika. Mereka juga memberikan bantuan berupa pemberian informasi intelijen ke AS. 

Seandainya memang Iran pro terhadap kaum muslimin tentunya hal itu tidak akan terjadi. Adalah kenyataan yang tak dapat dipungkiri lagi bahwa Syiah memiliki kebencian yang mendalam kepada Sunni. Kita bisa dapati hal tersebut pada kitab-kitab rujukannya. Jika kita mau sedikit saja berusaha mencari informasi tentang hal ini, maka itu sudah cukup bagi kita untuk dapat menemukan sekian banyak bukti kekejaman syiah terhadap sunni. Mereka tega membantai 500 orang sunni yang berada dipenjara dengan cara merubuhkan penjara tersebut. Mereka tega membantai orang sunni hanya lantaran memiliki nama para sahabat yang mulia; Abu Bakar, Umar, dan Utsman . Mereka tega menggantung para ulama Sunni dengan tuduhan-tuduhan yang tak berbukti. Apakah seperti ini kelakuan pelindung umat?! Tidak, mereka hanya melindungi diri mereka sendiri sebagai syiah bukan sebagai bagian kaum muslimin sebagaimana yang kerap mereka gembar-gemborkan dihadapan publik. Kini Iran tengah berusaha mengekspor revolusinya ke berbagai negara, terutama wilayah Arab. Di Libanon, Suriah dan Bahrain, Syiah telah menancapkan ideologinya. Mereka berusaha menguasai Negara-negara terusan Suez dengan maksud agar mempermudah suplai senjata kepada pejuang-pejuang mereka. Mereka telah masuk ke Eritrea yang miskin, dan sedang menuju ke gerbang laut merah yang mengontrol terusan Suez. Dari sini Iran dapat mengancam Yaman dan Arab Saudi dan meneruskan persenjataannya ke Sudan dan Mesir Setidaknya itulah yang dikatakan oleh mantan panglima perang dan Ahli Strategi Mesir, Hussam Sweilem. Masih menurut Hussam Sweilem, bahkan Syiah Iran memiliki departemen tersendiri di kementrian dalam negeri yang menangani program ekspor ideology syiah ke luar negeri. (erm) Namun keberanian Syiah menentang hegemoni AS telah menawan sebagian kaum Sunni yang awam. Sungguh seandainya Syiah menjadi mayoritas di negeri ini, maka niscaya nasib kita akan serupa dengan nasib saudara-saudara kita di Iran. [hsm/syiahindonesia.com]
Readmore...

Hidayah Milik Allah

 
Para pembaca yang semoga dirahmati Allah ta’ala, mungkin kita sering berfikir, sudah banyak sekali cara kita untuk menyadarkan seseorang yang kita cintai, untuk merubah sifat seseorang yang sangat disayangi. Akan tetapi, segala cara dan upaya kita, ternyata tidak mampu untuk merubahnya menjadi seseorang yang baik. Sebenarnya apa yang salah dengan upaya kita, bagaimanakah caranya agar kita dapat merubah seseorang?

Mengenai hal ini, perlu kita ketahui, hidayah atau petunjuk hanyalah milik Allah, bagaimana pun upaya kita untuk merubah seseorang, bagaimana pun kerja keras kita untuk menyadarkan seseorang, maka itu tidak ada artinya jika Allah tidak menghendaki hidayah kepadanya, orang tersebut tidak akan berubah sampai Allah memberikannya hidayah. Allah berfirman yang artinya “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Alloh memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Alloh lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (QS Al Qashash: 56).

Ibnu katsir mengatakan mengenai tafsir ayat ini, “Allah mengetahui siapa saja dari hambanya yang layak mendapatkan hidayah, dan siapa saja yang tidak pantas mendapatkannya”.

Syaikh Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin menerangkan, “Hidayah di sini maknanya adalah hidayah petunjuk dan taufik. Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan hidayah ini kepada orang yang pantas mendapatkannya, karena segala sesuatu yang dikaitkan dengan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka mesti mengikuti hikmah-Nya.”

Nabi Yang Mulia Sendiri Tidak Dapat Memberi Hidayah Taufik

Turunnya ayat ini berkenaan dengan cintanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada pamannya Abu Tholib. Akan tetapi, segala cara dan upaya yang dilakukan beliau untuk mengajak pamannya kepada kebenaran, tidak sampai membuat pamannya menggenggam Islam sampai ajal menjemputnya. Seorang rosul yang kita tahu kedudukannya di sisi Allah saja tidak mampu untuk memberi hidayah kepada pamannya, apalagi kita yang keimanannya sangat jauh dibandingkan beliau.

Tidakkah kita melihat perjuangan Nabi Allah Nuh di dalam menegakkan tauhid kepada umatnya? Waktu yang mencapai 950 tahun tidak dapat menjadikan umat nabi Nuh mendapatkan hidayah Allah, bahkan untuk keturunannya sendiri pun ia tidak dapat menyelamatkannya dari adzab, Allah berfirman yang artinya “Dan Nuh memanggil anaknya yang berada di tempat yang jauh, ‘Wahai anakku! Naiklah bahtera ini bersama kami dan janganlah kamu bersama orang-orang kafir’. Dia berkata, ‘Aku akan berlindung ke gunung yang akan menghindarkanku dari air bah. Nuh berkata, ‘Hari ini tidak ada lagi yang bisa melindungi dari adzab Allah kecuali Dzat Yang Maha Penyayang.’ Dan gelombang pun menghalangi mereka berdua, maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.” (QS. Hud:42-43)

Melihat anaknya yang tenggelam, Nabi Nuh berdoa (yang artinya),“Dan Nuh pun menyeru Rabbnya, ‘Wahai Rabbku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji-Mu adalah janji yang benar, dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya.’ Allah berfirman, ‘Wahai Nuh, sesungguhnya dia bukan termasuk keluargamu (yang diselamatkan), sesungguhnya amalannya bukanlah amalan yang shalih. Maka janganlah engkau meminta kepada-Ku sesuatu yang tidak engkau ketahui. Sesungguhnya Aku peringatkan engkau agar jangan termasuk orang-orang yang jahil.” (QS. Hud: 45-46)

Contoh lainnya adalah apa yang dialami oleh Nabi Allah, Ibrahim. Berada ditengah-tengah orang-orang yang menyekutukan Allah, ia termasuk orang yang mendapat petunjuk. Allah dengan mudahnya memberikan hidayah kepada seseorang yang dikehendakinya, padahal tidak ada seorang pun yang mengajarkan dan menerangkan kebenaran kepadanya, Allah berfirman yang artinya “Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan yang ada di langit dan di bumi, agar dia termasuk orang-orang yang yakin. Ketika malam telah gelap, dia melihat bintang, lalu berkata, ‘Inilah rabbku’. Tetapi tatkala bintang itu tenggelam, dia berkata, ‘Aku tidak suka pada yang tenggelam’. Kemudian ketika dia melihat bulan terbit, dia berkata, ‘Inilah rabbku’. Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata, ‘Sesungguhnya jika Rabbku tidak memberi petunjuk padaku, pasti aku termasuk orang-orang yang sesat. Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata, ‘Inilah rabbku, ini lebih besar’. Tatkala matahari itu terbenam, dia pun berkata, ‘Wahai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian persekutukan! Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang menyekutukan-Nya’.” (QS. Al-An’am: 75-79)

Dari hal ini, sangat jelaslah bagi kita, hidayah hanyalah milik Allah, dan Allah memberi hidayah kepada orang yang dikehendakinya. Barangsiapa yang Allah beri hidayah, tidak ada seorang pun yang bisa menyesatkannya dan barangsiapa yang telah Allah sesatkan, tidak ada seorang pun yang bisa memberi hidayah kepadanya. Allah berfirman yang artinya “Allah memberikan hidayah kepada siapa yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.” (QS. Al-Baqarah: 213) dan Allah berfirman yang artinya “Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang pemberi petunjuk.” (QS. Az-zumar:23).

Cara Menggapai Hidayah

Setelah mengetahui hal ini, lantas bagaimana upaya kita untuk mendapatkan hidayah? Bagaimana caranya membuat orang lain mendapatkan hidayah?

Di antara sebab-sebab seseorang mendapatkan hidayah adalah:

1. Bertauhid

Seseorang yang menginginkan hidayah Allah, maka ia harus terhindar dari kesyirikan, karena Allah tidaklah memberi hidayah kepada orang yang berbuat syirik. Allah berfirman yang artinya “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kesyirikan, mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-an’am:82).

2. Taubat kepada Allah

Allah tidak akan memberi hidayah kepada orang yang tidak bertaubat dari kemaksiatan, bagaimana mungkin Allah memberi hidayah kepada seseorang sedangkan ia tidak bertaubat? Allah berfirman yang artinya “Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan menunjuki orang-orang yang bertaubat kepada-Nya”.

3. Belajar Agama

Tanpa ilmu (agama), seseorang tidak mungkin akan mendapatkan hidayah Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya “Jika Allah menginginkan kebaikan (petunjuk) kepada seorang hamba, maka Allah akan memahamkannya agama” (HR Bukhori)

4. Mengerjakan apa yang diperintahkan dan menjauhi hal yang dilarang.

Kemaksiatan adalah sebab seseorang dijauhkan dari hidayah. Allah berfirman yang artinya “Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka), dan kalau demikian, pasti Kami berikan kepada mereka pahala yang besar dari sisi Kami, dan pasti Kami tunjuki mereka kepada jalan yang lurus.” (An-nisa: 66-68).

5. Membaca Al-qur’an, memahaminya mentadaburinya dan mengamalkannya.

Allah berfirman yang artinya “Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus” (QS. Al-Isra:9)

6. Berpegang teguh kepada agama Allah

Allah berfirman yang artinya “Barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah, maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS. Ali-Imron:101).

7. Mengerjakan sholat.

Di antara penyebab yang paling besar seseorang mendapatkan hidayah Allah adalah orang yang senantiasa menjaga sholatnya, Allah berfirman pada surat al-baqoroh yang artinya “Aliif laam miim, Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya dan merupakan petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.”

Siapa mereka itu, dilanjutkan pada ayat setelahnya “yaitu mereka yang beriman kepada hal yang ghoib, mendirikan sholat dan menafkahkah sebagian rizki yang diberikan kepadanya” (QS. Al-baqoroh:3).

8. Berkumpul dengan orang-orang sholeh

Allah berfirman yang artinya “Katakanlah: “Apakah kita akan menyeru selain daripada Allah, sesuatu yang tidak dapat mendatangkan kemanfaatan kepada kita dan tidak (pula) mendatangkan kemudharatan kepada kita dan (apakah) kita akan kembali ke belakang, sesudah Allah memberi petunjuk kepada kita, seperti orang yang telah disesatkan oleh syaitan di pesawangan yang menakutkan; dalam keadaan bingung, dia mempunyai kawan-kawan yang memanggilnya kepada jalan yang lurus (dengan mengatakan): “Marilah ikuti kami.” Katakanlah:”Sesungguhnya petunjuk Allah itulah (yang sebenarnya) petunjuk; dan kita disuruh agar menyerahkan diri kepada Tuhan semesta alam.” (QS. Al-An’am:72).

Ibnu katsir menafsiri ayat ini, “Ayat ini adalah permisalan yang Allah berikan kepada teman yang sholeh yang menyeru kepada hidayah Allah dan teman yang jelek yang menyeru kepada kesesatan, barangsiapa yang mengikuti hidayah, maka ia bersama teman-teman yang sholeh, dan barang siapa yang mengikuti kesesatan, maka ia bersama teman-teman yang jelek. “

Dengan mengetahui hal tersebut, marilah kita berupaya untuk mengerjakannya dan mengajak orang lain untuk melakukan sebab-sebab ini, semoga dengan jerih payah dan usaha kita dalam menjalankannya dan mendakwahkannya menjadi sebab kita mendapatkan hidayah Allah. Syaikh Abdullah Al-bukhori mengatakan dalam khutbah jum’atnya “Semakin seorang meningkatkan ketaqwaannya kepada Allah, niscaya bertambah hidayah padanya. Seorang hamba akan senantiasa ditambah hidayahnya selama dia senantiasa menambah ketaqwaannya. Semakin dia bertaqwa, maka semakin bertambahlah hidayahnya, sebaliknya semakin ia mendapat hidayah/petunjuk, dia semakin menambah ketaqwaannya. Sehingga dia senantiasa ditambah hidayahnya selama ia menambah ketaqwaannya.”

Semoga Allah senantiasa memberikan hidayah kepada kita dan orang-orang yang ada disekeliling kita, aamiin. Washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi washahbihi ajma’in.


Penulis: Rian Permana
Artikel www.muslim.or.id
Readmore...

Larangan Berkata.. Seandainya…

 


Minggu, 16 Januari 2011 23:25:29 WIB

Oleh Ustadz Abu Haidar as Sundawi 
Salah satu di antara sekian banyak penyimpangan yang dilakukan oleh lisan adalah mengatakan “seandainya” yang digunakan untuk menggugat taqdir atau syariat, atau untuk mengungkapkan kerugian (rasa sial) dan penyesalan terhadap apa yang sudah terjadi. Allah Azza wa Jalla berfirman : 

 يَقُولُونَ لَوْ كَانَ لَنَا مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ مَّا قُتِلْنَا هَاهُنَا 

 … Mereka (orang-orang munafik) berkata: "Seandainya kita memiliki (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini”… [Ali Imran : 154]. 

Ungkapan orang-orang munafik dalam firman Allah ini, adalah ungkapan “seandainya”, yang bermaksud untuk menggugat syari’at. Asbabun nuzul ayat ini adalah, peristiwa yang diceritakan oleh ‘Abdullah bin Zubair pada waktu perang Uhud, dia berkata : Zubair mengatakan : “Aku melihat diriku bersama-sama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam


ketika kami ditimpa rasa takut yang amat sangat, lalu Allah memberi rasa ngantuk kepada kami. Tak ada seorangpun di antara kami, kecuali merasakan ketakutan ini pada hati mereka,” Zubair berkata lagi : “Lalu, demi Allah, aku mendengar ucapan Muattib bin Qusyair. Aku tidak mendengarnya, kecuali seperti mimpi. Muattib mengatakan,’Seandainya kita memiliki hak campur tangan dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan terbunuh disini’.” Aku menghafalkan ucapan ini, lalu Allah menurunkan ayat ”Mereka berkata ‘ seandainya kita memiliki hak campur tangan dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan terbunuh disini”. Lalu Allah menjawab :

 قُل لَّوْ كُنتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ لَبَرَزَ الَّذِينَ كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقَتْلُ إِلَىٰ مَضَاجِعِهِمْ 

Katakan (wahai Muhammad) : “Seandainya kalian berada di rumah-rumah kalian, maka pasti akan keluarlah orang-orang yang telah ditetapkan mati untuk menuju ke tempat kematian mereka”. Jadi kematian ini adalah taqdir yang sudah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla, sebagai ketetapan yang pasti dan tidak bisa dihindari.[1] 

Perkataan mereka yang menyatakan “seandainya kita memiliki hak campur tangan dalam urusan ini …,” dan seterusnya, merupakan ungkapan yang bersifat gugatan terhadap syariat. Karenanya, mereka mencela Rasulullah n ketika beliau n menetapkan harus keluar dari Madinah untuk menyongsong musuh di bukit Uhud tanpa persetujuan mereka. Mungkin juga, ini termasuk gugatan terhadap taqdir. Maksud perkataan mereka “seandainya kami memiliki strategi dan pendapat yang bagus, maka kita tidak akan keluar dan tidak akan terbunuh”. [2] 


Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala pada ayat yang lain :

 الَّذِينَ قَالُوا لِإِخْوَانِهِمْ وَقَعَدُوا لَوْ أَطَاعُونَا مَا قُتِلُوا 

Orang-orang yang berkata kepada saudara-saudara mereka, dan mereka tidak ikut berperang : “Seandainya mereka megikutii kita, maka mereka tidak akan terbunuh”. [Ali Imran : 168]. 

Imam Ibnu Katsir, ketika menjelaskan ayat ini menyatakan, bahwa maksud perkataan mereka adalah, seandainya mereka (Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya) mendengar pendapat kami agar tetap tinggal dan tidak keluar dari Madinah, maka mereka tidak akan terbunuh bersama orang-orang yang sudah gugur. Maka Allah menjawab :

 قُلْ فَادْرَءُوا عَنْ أَنفُسِكُمُ الْمَوْتَ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ 

Katakanlah olehmu : “Tolaklah kematian dari diri-diri kalian bila kalian orang-orang yang benar”. [Ali Imran : 168]. 


Maksudnya, apabila dengan tetap tinggal di tempat bisa menyelamatkan seseorang dari kematian, maka pasti kalian tidak akan mati. Padahal, kematian pasti datang kepada kalian, sekalipun kalian berada di balik peti besi yang kuat. Maka hindarilah kematian dari diri kalian, kalau kalian orang-orang yang benar. Kata Mujahid, dari Jabir bin ‘Abdullah, ayat ini turun tentang ‘Abdullah bin Ubay dan dedengkotnya. Artinya, dialah yang menyatakan perkataan ini. [3] 


Syaikhul Islam mengatakan ketika menerangkan tentang apa yang terjadi pada diri 'Abdullah bin Ubay, bahwa ketika ia menyendiri pada waktu perang Uhud, ia berkata : "Dia (Muhammad) meninggalkan pendapatku dan mengambil pendapat anak-anak?” Lalu bergabunglah sekelompok besar orang-orang. Mereka belum menjadi munafik sebelum itu. [4] 


Perkataan ini diucapkan pada waktu perang Uhud, yaitu ketika 'Abdullah bin Ubay mengundurkan diri di tengah jalan dengan membawa sepertiga dari jumlah pasukan yang sedang menuju Uhud. Ketika sejumlah 70 orang kaum Muslimin gugur sebagai syahid pada perang itu, maka orang-orang munafik mengritik ketetapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka mengatakan : "Seandainya mereka mengikuti kita dan kembali pulang sebagaimana kita, maka mereka tidak akan terbunuh. Maka ketetapan kita lebih baik daripada ketetapan Muhammad". Perkataan ini haram, bahkan bisa saja sampai kepada tingkat kekufuran [5]. 


Allah berfirman : 

 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ كَفَرُوا وَقَالُوا لِإِخْوَانِهِمْ إِذَا ضَرَبُوا فِي الْأَرْضِ أَوْ كَانُوا غُزًّى لَّوْ كَانُوا عِندَنَا مَا مَاتُوا وَمَا قُتِلُوا 

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menyerupai orang-orang kafir dan berkata kepada saudara-saudara mereka apabila mereka bepergian di muka bumi atau mereka pergi berperang : "Seandainya mereka bersama-sama kami, maka mereka tidak akan mati dan tak akan terbunuh". [Ali Imran : 156]. 

Ini adalah bentuk gugatan terhadap taqdir. Jadi, mengatakan "seandainya" dengan maksud untuk menggugat taqdir atau menggugat syariat adalah terlarang. Demikian juga mengatakan "seandainya" untuk mengungkapkan penyesalan dan kerugian tentang apa yang sudah terjadi, termasuk hal yang diharamkan. 
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : 

 وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا وَلَكِنْ قُلْ قَدَّرَ اللَّهُ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ 

 …Bila kamu ditimpa suatu musibah, maka janganlah kamu mengatakan "seandainya tadi aku melakukan ini dan ini, maka pasti akan terjadi begini-begini,” akan tetapi katakanlah : "Ini adalah taqdir Allah dan apa saja yang Dia kehendaki, pasti Dia laksanakan.” Karena perkataan "seandainya" bisa membuka amalan setan.[6] 

Contohnya, apabila ada seseorang yang berminat membeli sesuatu yang dikiranya akan memperoleh keuntungan, tetapi ternyata rugi, lalu dia mengatakan : "Seandainya saya tidak membelinya, maka pasti saya tidak akan rugi”. Ini adalah ungkapan penyesalan dan keluhan yang banyak dilakukan manusia. Yang demikian ini terlarang. Yang dimaksud musibah dalam hadits ini adalah, segala hal yang tidak diinginkan dan tidak disukai, serta apa yang bisa menghalangi tercapainya tujuan dari usaha yang sedang dilakukannya. Siapapun yang cita-citanya tidak sesuai dengan apa yang telah Allah taqdirkan, sehingga tidak memperoleh apa yang diinginkannya, maka dia tidak akan terlepas dari dua keadaan : 


1. Dia akan mengatakan : "Seandainya tadi saya tidak melakukan ini, maka tidak akan terjadi begini", atau, 

2. Dia akan mengatakan : "Seandainya saya tadi melakkukan ini, pasti akan terjadi begini". 

Contoh yang pertama adalah perkataan : "Seandainya saya tidak bepergian, maka keuntungan tidak akan hilang". Contoh yang kedua adalah perkataan : "Seandainya saya pergi, pasti saya akan untung". Dalam hadits ini, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menerangkan contoh yang kedua dan bukan yang pertama, karena orang ini beramal dan dia mengatakan : “Seandainya saya melakukan seperti pekerjaan si Fulan dan bukan perkerjaan yang saya lakukan ini, maka pasti akan tercapailah keinginan saya”. Ini berbeda dengan orang yang tidak melakukan, maka sikapnya akan pesimis. Orang yang ditimpa musibah harus mengatakan : “Ini adalah taqdir Allah, dan apa saja yang Dia kehendaki, pasti Dia laksanakan,” maksudnya adalah, bahwa yang terjadi ini merupakan taqdir Allah dan bukan tanggung jawab saya. Adapun tanggung jawab saya, maka saya telah berusaha melakukan apa yang saya lihat bermanfaat, yaitu sebagaimana yang diperintahkan kepada saya. Dan ini adalah sikap taslim (pasrah) yang sempurna kepada ketentuan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Karena manusia, apabila telah melakukan apa yang diperintahkan sesuai dengan syariat, maka dia tidak boleh dicela dan urusannya diserahkan kepada Allah. Sedangkan yang dimaksud dengan “amalan setan” dalam sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut di atas adalah, apa yang dia bisikkan ke dalam hati manusia berupa penyesalan dan kesedihan, karena setan amat menyukai hal itu. Allah berfirman : 

 إِنَّمَا النَّجْوَىٰ مِنَ الشَّيْطَانِ لِيَحْزُنَ الَّذِينَ آمَنُوا وَلَيْسَ بِضَارِّهِمْ شَيْئًا إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ 


Sesungguhnya bisik-bisik itu hanyalah dari setan untuk membuat sedih orang-orang yang beriman, dan dia tidak akan membahayakan sedikitpun, kecuali dengan izin Allah. [al Mujadilah : 10]. 


Sehingga, dalam tidurpun setan senang memperlihatkan mimpi-mimpi menakutkan untuk mengeruhkan kejernihan pikiran manusia dan mengganggu pikirannya. Dalam keadaan seperti itu, manusia tidak akan bisa melaksanakan ibadah sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, kita mengetahui, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang kita shalat, jika konsentrasi pikiran kita terganggu. Di antaranya, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : “Tidak ada shalat dengan kehadiran makanan dan dalam keadaan dia sedang menahan dua desakan". [7] 


Bila seseorang ridha menjadikan Allah sebagai Tuhannya, sehingga segala yang terjadi ia terima sebagai ketetapan Allah dan taqdirNya, maka hatinya akan tenang, dan lapanglah dadanya.[8] 
Dilarangnya ucapan “seandainya”, karena di dalamnya tersirat ada penyesalan terhadap apa yang luput dari genggaman, dan menyiratkan celaan terhadap taqdir yang bisa memupus sikap sabar dan ridha. Padahal sabar adalah wajib, dan iman kepada taqdir adalah fardhu. Allah berfirman : 

 مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَا ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ لِّكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَىٰ مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ 


Tidak ada musibah yang terjadi di muka bumi atau yang menimpa diri-diri kalian kecuali sudah tertulis di dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah. Agar kalian tidak putus asa dari apa yang tidak kalian dapatkan dan tidak bangga dengan apa yang Allah berikan kepada kalian. Dan Allah tidak mencintai setiap orang yang sombong dan membanggakan diri. [al Hadid : 22-23]. 


Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu mengatakan : "Kedudukan sabar dalam iman adalah, seperti kedudukan kepala dalam jasad".[9] 


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, sesungguhnya manusia tidak diperintah untuk melihat kepada taqdir manakala (ia) diperintah untuk mengerjakan suatu amalan. Akan tetapi, dia diperintahkan untuk menyadari taqdir ketika dia mengalami musibah yang tidak bisa dicegah. Oleh karenanya, apabila ditimpa musibah yang disebabkan perbuatan manusia atau bukan karena perbuatan mereka, maka bersabarlah menerima hal itu, dan relalah serta pasrahlah. Allah berfirman : 

 مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ۗ وَمَن يُؤْمِن بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ 


Tidak ada musibah yang menimpa kecuali terjadi atas izin Allah, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, maka Allah akan memberi petunjuk ke dalam hatinya. [at Taghabun : 11]. 
Oleh karena itu Adam mengatakan kepada Musa : 


أَتَلُومُنِي عَلَى أَمْرٍ قَدَّرَهُ اللَّهُ عَلَيَّ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَنِي بِأَرْبَعِينَ سَنَةً 

Apakah engkau akan mencelaku atas perkara yang telah ditaqdirkan Allah untukku 40 tahun sebelum aku diciptakan? [10] 


Adam berhujjah kepada Musa karena Musa berkata kepadanya : “Mengapa engkau keluarkan kami dan dirimu dari Surga?” Musa mencela Adam atas musibah yang dialami karena sebab perbuatannya, bukan karena dosanya. Adapun celaan itu karena sebab dosanya – seperti yang banyak diduga oleh sebagian orang – maka hadits itu tidak bermaksud demikian, karena Adam Alaihissallam telah bertobat dari dosanya dan orang yang bertaubat dari dosanya bagaikan orang yang tak berdosa, sehingga tidak boleh mencela orang yang sudah bertaubat berdasarkan kesepakatan ulama.[11] 


Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, sesungguhnya ini termasuk beralasan dengan taqdir karena musibahnya, dan bukan karena dosanya. Sehingga Musa tidak berhujjah kepada Adam atas kemaksiatan yang menjadi penyebab keluarnya dari surga, tapi (Musa) berhujjah atas keluarnya itu sendiri. Maknanya adalah, perbuatanmu itu menjadi penyebab keluarnya kita dari Surga. Sebab Musa Alaihissallam sangat tidak mungkin mencela bapaknya yang telah bertaubat atas dosanya tersebut, dan telah dipilih serta telah diberi petunjuk Allah Azza wa Jalla. Penjelasan ini sesuai dengan maksud hadits. 


Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah memberi penjelasan lain ketika menerangkan hadits ini, yaitu bahwa Adam berhujjah dengan taqdir setelah peristiwa itu berlalu dan setelah taubat dari perbuatannya. Tidak seperti orang-orang yang berhujjah atas kemaksiatan agar bisa terus-menerus melakukannya. Orang-orang musyrik berkata : 


لَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا أَشْرَكْنَا وَلَا آبَاؤُنَا 


Seandainya Allah menghendaki, maka kami tidak akan berbuat musyrik dan juga bapak-bapak kami –al An’am ayat 148- maka Allah mendustakan perkataan tersebut, karena mereka tidak berhujjah atas sesuatu yang sudah terjadi, kemudian mereka mengatakan “kami bertaubat kepada Allah”, tetapi mereka berhujjah untuk tetap berada dalam kesyirikan. Sehingga mengatakan “seandainya” untuk beralasan dengan taqdir agar bisa tetap berbuat maksiat, maka perkataan seperti ini adalah batil. 
Demikian juga ucapan orang-orang musyrik 

 وَقَالُوا لَوْ شَاءَ الرَّحْمَٰنُ مَا عَبَدْنَاهُم 


Seandainya Allah Yang Maha Rahman menghendaki maka kami tidak akan menyembah berhala -QS az Zukhruf ayat 20- maka perkataan ini adalah batil. Hadits inipun menjelaskan, setan mempunyai pengaruh pada diri manusia berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang artinya : “karena perkataan seandainya itu bisa membuka amalan setan”. Dalam hadits lain, Nabi n bersabda : 

 إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنْ الْإِنْسَانِ مَجْرَى الدَّمِ 


Sesungguhnya setan menjalar pada diri manusia laksana aliran darah.[13] 
Sebagian ulama mengatakan, hadits ini bermakna perasaan was-was yang ditiupkan setan ke dalam hati manusia, menjalar bagaikan aliran di pembuluh darah. Zhahir teks hadits ini menunjukkan, setan itu sendirilah yang menjalar dalam tubuh manusia bagai aliran darah. Bagi Allah Azza wa Jalla yang memiliki kekuasaan, maka hal ini tidak mustahil, sebagaimana ruh, juga menjalar pada aliran darah, yaitu jasad. Apabila ruh itu dicabut, maka dia akan dikafani dan diberi balsem serta diangkat ke langit oleh malaikat. PERKATAAN “SEANDAINYA” YANG DIPERBOLEHKAN Tidak semua perkataan “seandainya” itu dilarang. 

Ada beberapa perkataan “seandainya” dalam konteks tertentu yang dibolehkan. Misalnya, mengatakan “seandainya” dalam mengungkapkan harapan. Hukum boleh atau tidaknya, tergantung jenis harapannya. Apabila harapannya baik, maka boleh. Sebaliknya, apabila harapannya jelek, maka hal itu terlarang. Dalam suatu hadits shahih, dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang kisah empat orang, yang salah satu di antara mereka mengatakan : 

“Seandainya aku mempunyai harta, maka pasti aku akan beramal seperti amalan si Fulan (yang beramal shalih dengan hartanya)”. 
Ini adalah harapan kebaikan. Orang kedua mengatakan : “Seandainya aku memiliki harta, pasti aku akan beramal sebagaimana amalan si Fulan (yang beramal jelek dengan hartanya)”. Ini adalah harapan kejelekan. Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata tentang orang yang pertama : “Dia memperoleh pahala berdasarkan niatnya, dan pahala keduanya sama”. Adapun tentang orang yang kedua, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata : “Dia mendapat dosa berdasarkan niatnya, dan dosa keduanya sama”.[14] 

Boleh juga menggunakan kata “seandainya” sekedar untuk mengabarkan sesuatu. Contohnya, seseorang mengatakan “seandainya saya menghadiri pelajaran, maka pasti saya akan mengambil faidah dari pelajaran itu”. Di antara dalilnya adalah, sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : 

 لَوْ اسْتَقْبَلْتُ مِنْ أَمْرِي مَا اسْتَدْبَرْتُ مَا سُقْتُ الْهَدْيَ وَلَحَلَلْتُ مَعَ النَّاسِ حِينَ حَلُّوا 


Seandainya aku tahu sebelum ihramku apa yang aku tahu sesudahnya, maka aku tidak akan membawa binatang kurban dan aku akan bertahallul bersama kalian.[15] 


Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengabarkan, seandainya beliau mengetahui bahwa hal tersebut akan terjadi di kalangan sahabat, maka beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak akan membawa binatang qurban dan pasti akan bertahalul. Sebagian ulama mengatakan, bahwa ini termasuk angan-angan, seakan-akan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan “sayang sekali, seandainya aku mengetahui urusan yang sebelumnya tidak tahu, sehingga aku tidak membawa binatang qurban,” akan tetapi, yang nampak adalah, beliau mengabarkan tentang apa yang dilihatnya dari para sahabat. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengangan-angankan sesuatu yang berseberangan dengan taqdir Allah.[16] 

Tentang perkataan “seandainya” yang dimaksudkan untuk mengabarkan, maka hal ini harus dirinci. Kalau kabar yang diberitakan itu benar sesuai dengan kenyataan, maka tidak mengapa. Tetapi, bila maksud perkataan ini bersandar kepada apa yang menjadi penyebab, maka dalam hal ini ada tiga keadaan : 


1. Bila sebabnya samar yang tidak punya pengaruh apa-apa, seperti mengatakan “bila bukan karena Wali Fulan, maka tidak akan terjadi begini”. Perkataan seperti ini adalah syirik akbar (syirik besar), karena dengan ucapannya ini, dia meyakini bahwa wali Fulan memiliki kemampuan untuk berbuat di alam ini, padahal ia sudah mati. 


2. Disandarkan kepada sebab yang benar, ditetapkan berdasarkan syar’i atau empiris. Demikian ini hukumnya boleh, dengan syarat tidak meyakini bahwa sebab itulah yang berpengaruh langsung, dan tidak melupakan penyebab utamanya, yaitu Allah. Dalilnya adalah ucapan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang pamannya (Abu Thalib), beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : “Seandainya bukan karena aku, maka dia (Abu Thalib) pasti berada di kerak neraka”. [17] 


Tidak diragukan, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah manusia yang paling jauh dari kesyirikan, dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam yang paling bersih tauhidnya kepada Allah Azza wa Jalla, maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyandarkan sesuatu kepada sebab, tetapi ini sesuai dengan syari’at secara hakiki, karena beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam diizinkan memberi syafa’at kepada pamannya untuk diringankan siksanya, sehingga di neraka nanti, pamannya mendapat siksaan yang paling ringan. Abu Thalid diberi dua sandal yang membuat otaknya mendidih. 


3. Disandarkan kepada sebab yang nyata, akan tetapi tidak jelas keterkaitan sebabnya, baik secara empiris ataupun secara syar’i. Ini termasuk syirik kecil. Contohnya, kalung yang dianggap jimat, dan dikatakan jika kalung dimaksud bisa mencegah pengaruh mata jahat (a’in) dan yang sejenisnya. Penetapan yang demikian, yaitu adanya sebab yang tidak ditetapkan oleh Allah sebagai sebab bagi hal tersebut, maka dia menganggap serikat bagi Allah dalam menetapkan sebab. 


[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun X/1427H/2006M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296] _______ 
Footnote 
[1]. Fathul Majid, 551-552. 
[2]. Al Qaulul Mufid (2/364). 
[3]. Tafsir Ibnu Katsir (2/139). 
[4]. Majmu Fatawa (7/280). 
[5]. Al Qaulul Mufid (2/361). 
[6]. Dikeluarkan oleh Muslim dalam kitab az Zuhud, Bab Serorang mukmin semua urusannya baik (4/2295), dari Shuhaib bin Sinan z . 
[7]. Dikeluarkan oleh Muslim dalam kitab al Masajid (1/393). 
[8]. Al Qaulul Mufid (2/370-372). 
[9]. Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam kitab Iman, nomor 130, dan Al Lalikai dalam Syarah Ushulil I’tiqad, no. 1569. 
[10]. Dikeluarkan oleh Bukhari dalam Sahih-nya, no 3409,5705,5752,6472,5715; Muslim dalam Shahih-nya, no. 2652, dari Abu Harairah Radhiyallahu 'anhu. 
[11]. Fathul Majid, 556. 
[12]. Al Qaulul Mufid (2/374-375). 
[13]. Dikeluarkan oleh Bukhari dalam kitab I’tikaf, Bab seorang isteri mengunjungi suaminya ketika i’tikaf (2/68); Muslim dalam kitab Salam (4/1712) dari Shafiyah binti Hayyi Radhiyallahu 'anha. 
[14]. Dikeluarkan oleh Ahmad (3/230-231); Tirmidzi dalam kitab az Zuhud, Bab Niat (2/1413), dari Abu Kabsyah ‘Amr bin Sa’d al Anmari Radhiyallahu 'anhu. 
[15]. Dikeluarkan oleh Bukhari dalam Kitab Haji, Bab orang yang haid harus mengqadha seluruh manasik kecuali thawaf (1/506); Muslim, Kitab Haji, Bab penjelasan cara-cara ihram (2/885), dari Jabir Radhiyallahu 'anhu. 
[16]. Al Qaulul Mufid (2/362-363). 
[17]. Dikeluarkan oleh Bukhari dalam Kitab Manaqib Anshar, Bab kisah Abu Thalib (3/62); Muslim dalam Kitab Iman, Bab Syafaat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Abu Thalib (1/194) dari ‘Abbas bin Abdul Muthalib Radhiyallahu 'anhu
Readmore...

Inilah Sikap Hikmah Dalam Berdakwah

 
BERDAKWAH DENGAN AHLAK MULIA

Oleh: al-Ustadz Abdullah Zaen, MA.
Segala puji bagi Allah ta’ala, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi-Nyashallallahu’alaihiwasallam.
Sebuah renungan dari sepenggal kisah nyata
Beberapa saat lalu, penulis diceritai adik ipar kisah seorang mantan preman yang mendapatkan hidayah mengenal manhaj salaf. Katanya, dulu ketika masih preman, ia amat dibenci masyarakat kampungnya; karena kereseannya; gemar mabuk, berjudi, mengganggu orang lain dan seabrek perilaku negatif lain yang merugikan masyarakat. Namun tidak ada seorangpun yang berani menegurnya; karena takut mendapatkan hadiah bogem mentah.


Dengan berjalannya waktu, Allah ta’ala berkenan mengaruniakan hidayah kepada orang tersebut. Dia mengenal ajaran Ahlus Sunnah dan intens dengan manhaj salaf. Namun demikian, setelah ia berubah menjadi orang yang salih dan alim, ia tidak kemudian disenangi masyarakatnya, malahan mereka tetap membencinya. Padahal ia tidak lagi mempraktekkan tindak-tindak kepremanannya yang dulu. Bahkan, kalau dulu masyarakatnya tidak berani menegurnya, sekarang malah berani memarahinya, bahkan menyidangnya pula.
Apa pasalnya? Ternyata kebencian tersebut dipicu dari sikap kaku dan keras orang tersebut, juga kekurangpiawaiannya dalam membawa diri di masyarakat.
Dulu dibenci karena kepremanannya, sekarang dibenci karena ‘kesalihan’nya…
Haruskah orang yang menganut manhaj salaf dibenci masyarakatnya? Apakah itu merupakan sebuah resiko yang tidak terelakkan? Adakah kiat khusus untuk menghindari hal tersebut atau paling tidak meminimalisirnya?

Memang betul seorang yang teguh memegang kebenaran, ia akan menghadapi tantangan. Sedangkan di zaman Rasul shallallahu’alahiwasallam dan kurun ulama salaf saja, ada tantangan bagi pengusung kebenaran, apalagi di akhir zaman ini, dimana kejahatan lebih mendominasi dunia dibanding kebaikan.
Namun yang perlu menjadi catatan di sini, apakah kebencian yang muncul di banyak masyarakat kepada para pengikut manhaj salaf, murni diakibatkan kekokohan mereka dalam berpegang teguh terhadap prinsip, atau dikarenakan kekurangbisaan mereka dalam membawa diri, kekurangpiawaian dalam menjelaskan prinsip dan kekurangpandaian dalam menetralisir pandangan miring masyarakat terhadap prinsip-prinsip Ahlus Sunnah dengan penerapan akhlak mulia? Atau mungkin juga karena enggan melakukan sesuatu yang dikira terlarang, padahal sebenarnya boleh atau justru disyariatkan?
Berdasarkan pengamatan terbatas penulis, juga kisah-kisah nyata yang masuk, nampaknya faktor terakhir lebih dominan.
Dalam makalah sederhana ini, dengan memohon taufik dari Allah semata, penulis berusaha memaparkan peran besar akhlak mulia dalam meredam kebencian masyarakat terhadap pengusung kebenaran, bahkan dalam menarik mereka untuk mengikuti kebenaran tersebut.
Perintah untuk berakhlak mulia
Sebagai agama sempurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, tentunya Islam tidak melewatkan pembahasan akhlak dalam ajarannya. Begitu banyak dalil dalam al-Qur’an maupun Sunnah yang memerintahkan kita untuk berakhlak mulia. Di antaranya:
Firman Allah ta’ala tatkala memuji Nabi-Nya shallallahu’alaihiwasallam,
“وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ”.
Artinya: “Sesungguhnya engkau (wahai Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang luhur”.QS. Al-Qalam: 4.
Juga sabda Nabi shallallahu’alaihiwasallam,
“وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ”.
“Berakhlak mulia lah dengan para manusia”. HR. Tirmidzy (hal. 449 no. 1987) dari Abu Dzar, dan beliau menilai hadits ini hasan sahih.
Apa itu akhlak mulia?
Banyak definisi yang ditawarkan para ulama, di antara yang penulis anggap cukup mewakili:
“بَذْلُ النَّدَى، وَكَفُّ الْأَذَى، وَاحْتِمَالُ الْأَذَى”.
“Akhlak mulia adalah: berbuat baik kepada orang lain, menghindari sesuatu yang menyakitinya dan menahan diri tatkala disakiti”.[1]
Dari definisi di atas kita bisa membagi akhlak mulia menjadi tiga macam:
  1. Melakukan kebaikan kepada orang lain. Contohnya: berkata jujur, membantu orang lain, bermuka manis dan lain sebagainya.
  2. Menghindari sesuatu yang menyakiti orang lain. Contohnya: tidak mencela, tidak berkhianat, tidak berdusta dan yang semisal.
  3. Menahan diri tatkala disakiti. Contohnya: tidak membalas keburukan dengan keburukan serupa.
Apa maksud dakwah dengan akhlak? Bukankah dakwah itu cukup dengan lisan?
Pernah suatu hari ketika penulis mengisi sebuah pengajian, penulis melontarkan sebuah pertanyaan kepada para hadirin, “Apakah yang dimaksud dengan dakwah?”.
“Dakwah adalah seperti yang ustadz lakukan sekarang; ceramah dan khutbah!” sahut salah seorang jama’ah.
Dari jawaban yang terlontar tersebut, kita bisa meraba bahwa sebagian kalangan masih belum memahami makna dakwah. Mereka masih menganggap bahwa dakwah adalah penyampaian materi secara lisan. Padahal sebenarnya dakwah meliputi hal itu juga yang lainnya; semisal praktek, memberi contoh amalan, dan akhlak mulia, atau yang biasa diistilahkan dengan dakwah bil hâl. Bahkan justru yang terakhir inilah yang lebih berat dibanding dakwah dengan lisan dan lebih mengena sasaran.[2]
Banyak orang yang pintar berbicara dan menyampaikan teori dengan lancar, namun amat sedikit orang-orang yang mewujudkan omongannya dalam praktek nyata. Di sinilah terlihat urgensi adanya qudwah di masyarakat, yang tugasnya adalah menerjemahkan teori-teori kebaikan dalam amaliah nyata, sehingga teori tersebut tidak selalu hanya terlukis dalam lembaran-lembaran kertas. [3]
Jadi, dakwah dengan akhlak mulia maksudnya adalah: mempraktekkan akhlak mulia sebagai sarana untuk mendakwahi umat manusia kepada kebenaran.
Akhlak mulia dan dampak positifnya dalam dakwah
Di atas telah dijelaskan bahwa definisi akhlak mulia adalah: berbuat baik kepada orang lain, mengindari sesuatu yang menyakitinya serta menahan diri ketika disakiti. Berdasarkan definisi ini berarti cakupan akhlak mulia sangatlah luas, dan tidak mungkin semua cakupannya dipaparkan satu persatu dalam makalah singkat ini. Karena itulah penulis hanya akan membawa beberapa contoh saja, semoga yang sedikit ini bisa mendatangkan berkah dan para pembaca bisa menganalogikannya kepada contoh-contoh yang lain.
1. Gemar membantu orang lain.
Banyak nas dalam al-Qur’an maupun Sunnah yang memotivasi kita untuk mempraktekkan karakter mulia ini. Di antaranya: sabda Nabi shallallahu’alaihiwasallam,
“وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ؛ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ”
“Allah akan membantu seorang hamba; jika ia membantu saudaranya”. HR. Muslim (XVII/24 no. 6793) dari Abu Hurairah.
Karakter gemar membantu orang lain akan membuahkan dampak positif yang luar biasa bagi keberhasilan dakwah pemilik karakter tersebut. Menarik untuk kita cermati ungkapan Ummul Mukminin Khadijah tatkala beliau menghibur suaminya; Rasulullah shallallahu’alaihiwasallamyang ketakutan dan merasa khawatir tatkala wahyu turun pertama kali pada beliau. Khadijah berkata,
“كَلَّا وَاللَّهِ مَا يُخْزِيكَ اللَّهُ أَبَدًا؛ إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ، وَتَحْمِلُ الْكَلَّ، وَتَكْسِبُ الْمَعْدُومَ، وَتَقْرِي الضَّيْفَ، وَتُعِينُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ“.
“Demi Allah tidak mungkin! Allah tidak akan pernah menghinakanmu. Sebab engkau selalu bersilaturrahmi, meringankan beban orang lain, memberi orang lain sesuatu yang tidak mereka dapatkan kecuali pada dirimu, gemar menjamu tamu dan engkau membantu orang lain dalam musibah-musibah”. HR. Bukhari (hal. 2 no. 3) dan Muslim (II/376 no. 401).
Maksud perkataan Khadijah di atas adalah: “Sesungguhnya engkau Muhammad, tidak akan ditimpa sesuatu yang tidak kau sukai; karena Allah telah menjadikan dalam dirimu berbagai akhlak mulia dan karakter utama. Lalu Khadijah menyebutkan berbagai contohnya”,[4] yang di antaranya adalah: gemar membantu orang lain.
Karakter ini sangat membantu keberhasilan dakwah kita. Sebab tatkala seseorang dalam keadaan sangat membutuhkan bantuan, lantas ada orang yang membantunya, jelas susah bagi dia untuk melupakan kebaikan tersebut. Dia akan terus mengingat jasa baik itu, sehingga manakala kita menyampaikan sesuatu padanya, minimal dia akan lebih terbuka untuk mendengar ucapan kita, bahkan sangat mungkin dia akan menerima masukan dan nasehat kita. Sebagai salah satu bentuk ‘kompensasi’ dia atas kebaikan kita padanya.
Karena itu, seyogyanya kita berusaha menerapkan akhlak mulia ini dalam kehidupan sehari-hari. Tatkala ada tetangga yang meninggal dunia; kitalah yang pertama kali memberikan sumbangan belasungkawa kepada keluarganya. Manakala ada yang dioperasi karena sakit; kita turut membantu secara materi semampunya. Saat ada yang membutuhkan bantuan piutang; kita berusaha memberikan hutangan pada orang tersebut. Begitu seterusnya.
Jika hal ini rajin kita terapkan; lambat laun akan terbangun jembatan yang mengantarkan kita untuk masuk ke dalam hati orang-orang yang pernah kita bantu. Sehingga dakwah yang kita sampaikan lebih mudah untuk mereka terima.
2. Jujur dalam bertutur kata.
Sifat jujur merupakan salah satu karakter mulia yang amat dianjurkan dalam Islam. Allahta’ala berfiman,
“يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيداً”.
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar”. QS. Al-Ahzab: 70.
Masih banyak ayat al-Qur’an dan hadits Nabi shallallahu’alaihiwasallam yang berisikan perintah serupa.
Kejujuran bertutur kata dalam kehidupan sehari-hari membuahkan kepercayaan masyarakat terhadap apa yang kita sampaikan, bukan hanya dalam perkara duniawi, namun juga dalam perkara agama.
Ibnu Abbas bercerita, bahwa tatkala turun firman Allah,
“وَأَنذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ”.
Artinya: “Berilah peringatan (wahai Muhammad) kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat”. QS. Asy-Syu’ara: 214.
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam keluar dari rumahnya lalu menaiki bukit Shafa dan berteriak memanggil, “Wahai kaumku kemarilah!”. Orang-orang Quraisy berkata, “Siapakah yang memanggil itu?”. “Muhammad”, jawab mereka. Mereka pun berduyun-duyun menuju bukit Shafa.
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam berkata, “Wahai bani Fulan, bani Fulan, bani Fulan, bani Abdi Manaf dan bani Abdil Mutthalib. Andaikan aku kabarkan bahwa dari kaki bukit ini akan keluar seekor kuda, apakah kalian mempercayaiku?”.
Mereka menjawab, “Kami tidak pernah mendapatkanmu berdusta!”.
“Sesungguhnya aku mengingatkan kalian akan datangnya azab yang sangat pedih!” lanjut Rasul shallallahu’alaihiwasallam. HR. Bukhari (hal. 1082 no. 4971) dan Muslim (III/77 no. 507) dengan redaksi Muslim.
Lihatlah bagaimana Rasululullah shallallahu’alaihiwasallam menjadikan kejujurannya dalam bertutur kata sebagai dalil dan bukti akan kebenaran risalah yang disampaikannya.[5]
Seorang muslim yang telah dikenal di masyarakatnya jujur dalam bertutur kata, berhati-hati dalam berbicara dan menyampaikan berita; dia akan disegani oleh mereka. Ucapannya berbobot dan omongannya didengar. Dan ini adalah modal yang amat berharga untuk berdakwah. Didengarkannya apa yang kita sampaikan itu sudah merupakan suatu langkah awal yang menyiratkan keberhasilan dakwah. Andaikan dari awal saja, masyarakat sudah enggan mendengar apa yang kita sampaikan, karena kita telah dikenal, misalnya, mudah menukil berita tanpa diklarifikasi terlebih dahulu, tentu jalan dakwah berikutnya akan semakin terjal.
Benarlah pepatah orang Jawa: “Ajining diri soko ing lathi” (Kehormatan diri dinilai dari lisan).
3. Bertindak ramah terhadap orang miskin dan kaum lemah.
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda,
“ابْغُونِي الضُّعَفَاءَ؛ فَإِنَّمَا تُرْزَقُونَ وَتُنْصَرُونَ بِضُعَفَائِكُمْ“.
“Tolonglah aku untuk mencari dan membantu orang-orang lemah; sesungguhnya kalian dikaruniai rizki dan meraih kemenangan lantaran adanya orang-orang miskin di antara kalian”. HR. Abu Dawud (III/52 no. 2594), dan sanadnya dinilai jayyid (baik) oleh an-Nawawy[6].
Masih banyak hadits lain, juga ayat al-Qur’an yang memerintahkan kita untuk berbuat baik, berlaku ramah dan membantu orang-orang lemah juga miskin. Bahkan Rasulullahshallallahu’alaihiwasallam pernah ditegur langsung Allah ta’ala tatkala suatu hari beliau bermuka masam dan berpaling dari seorang lemah yang datang kepada beliau; karena saat itu beliau sedang sibuk mendakwahi para pembesar Quraisy. Kejadian itu Allah abadikan dalam surat ‘Abasa. Namun setelah itu Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam amat memuliakan orang lemah tadi dan bahkan menunjuknya sebagai salah satu muadzin di kota Madinah. Orang tersebut adalah Abdullah Ibn Ummi Maktum radhiyallahu’anhu.
Bersikap ramah dan care terhadap orang-orang lemah menguntungkan dakwah dari dua arah; sisi orang-orang lemah tersebut, juga sisi masyarakat yang menyaksikan sikap mulia yang kita praktekkan tersebut.
Adapun sisi pertama, keuntungannya: orang-orang lemah tersebut akan mudah untuk didakwahi dan diajak kepada kebenaran; apalagi pada umumnya mereka memang lebih mudah untuk didakwahi. Perlu dicatat di sini, apa yang disebutkan para ahli sejarah tentang salah satu isi dialog antara Abu Sufyan dan kaisar Romawi; Heraklius. Tatkala Abu Sufyan ditanya tentang siapakah pengikut Rasul shallallahu’alaihiwasallam? Dia menjawab, “Orang-orang lemah dan kaum miskin”. Heraklius pun menimpali, “Begitulah kondisi pengikut para nabi di setiap masa”.[7]
Ketika menafsirkan QS. Asy-Syu’ara: 111, Imam Abu Hayyân menjelaskan bahwa orang-orang lemah lebih banyak untuk menerima dakwah dibanding orang-orang yang terpandang. Sebab otak mereka tidak dipenuhi dengan keindahan-keindahan duniawi; sehingga mereka lebih mudah mengetahui al-haq dan menerimanya dibanding orang-orang terpandang.[8]
Sedangkan keuntungan kedua, adalah dipandang dari sisi ketertarikan orang-orang yang menyaksikan praktek akhlak mulia tersebut, sampaipun yang menyaksikan tersebut adalah orang yang memiliki kedudukan dalam perihal harta maupun sosial. Masyarakat cenderung lebih respek kepada ulama atau da’i yang rendah hati serta akrab dengan orang-orang lemah dan papa dibanding mereka yang berada dalam lingkaran kehidupan orang-orang kaya dan pemilik kekuasaan. Sebab masyarakat menganggap da’i tersebut cenderung lebih tulus. Adapun ulama yang hanya beramah-tamah dengan para pejabat dan konglomerat; masyarakat akan bertanya-tanya tentang motif kedekatan tersebut? Apakah karena mengharapkan harta duniawi atau apa?
Keterangan ini sama sekali bukan untuk mengecilkan urgensi mendakwahi orang-orang yang memiliki kedudukan[9], namun penulis hanya ingin mengajak para pembaca untuk membayangkan alangkah indahnya andaikan para da’i serta ulama menyeimbangkan antara kedekatannya dengan orang-orang terpandang dan kedekatannya dengan orang-orang lemah yang kekurangan. Tanpa ada tujuan lain melainkan untuk mengajak mereka semua ke jalan Allah ta’ala.
Banyak pelajaran berharga yang bisa dipetik dari kisah masuk Islamnya ‘Adiy bin Hâtim ath-Thâ’iy. Beliau adalah satu raja terpandang di negeri Arab. Ketika mendengar munculnya Rasulshallallahu’alaihiwasallam dan pengikutnya dari hari kehari semakin bertambah; membuncahlah dalam hatinya kebencian dan rasa cemburu akan adanya raja pesaing baru. Hingga datanglah suatu hari di mana Allah membuka hatinya untuk mendatangi Rasulshallallahu’alaihiwasallam.
Begitu mendengar kedatangan ‘Adiy, Rasulullah shallallahu’alihiwasallam yang saat itu sedang berada di masjid beserta para sahabatnya pun bergegas menyambut kedatangannya dan menggandeng tangannya mengajak berkunjung ke rumah beliau. Di tengah perjalanan menuju ke rumah, ada seorang wanita lemah yang telah lanjut usia memanggil-manggil beliau. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam pun berhenti dan meninggalkan ‘Adiy guna mendatangi wanita tersebut, beliau berdiri lama beserta dia melayani kebutuhannya. Manakala melihat ketawadhuan Nabi shallallahu’alaihiwasallam ‘Adiy bergumam dalam hatinya, “Demi Allah, ini bukanlah tipe seorang raja!”.
Setelah selesai urusannya dengan wanita tua tersebut, Rasulullah shallallahu’alaihiwasallammenggamit tangan ‘Adiy melanjutkan perjalanan. Sesampai di rumah, Rasulullahshallallahu’alaihiwasallam bergegas mengambil satu-satunya bantal duduk yang terbalut kulit dan berisikan sabut pohon kurma, lalu mempersilahkan ‘Adiy untuk duduk di atasnya. ‘Adiy pun menjawab, “Tidak, duduklah engkau di atasnya”. “Tidak! Engkaulah yang duduk di atasnya” sahut Rasul shallallahu’alaihiwasallam”. Akhirnya ‘Adiy duduk di atas bantal tersebut dan Rasul shallallahu’alaihiwasallam duduk di atas tanah. Saat itu ‘Adiy kembali bergumam dalam hatinya, “Demi Allah, ini bukanlah karakter seorang raja!”.
Lantas terjadi diskusi antara keduanya, hingga akhirnya ‘Adiy pun mengucapkan dua kalimat syahadat; menyatakan keislamannya.[10]
Lihatlah bagaimana ‘Adiy begitu terkesan dengan kerendahan hati Rasulshallallahu’alaihiwasallam yang dengan sabar melayani kebutuhan seorang wanita tua dan lemah di tengah-tengah perjalannya mendampingi seorang raja besar! Goresan keterkesanan yang terukir dalam hatinya, merupakan titik awal ketertarikan dia untuk masuk ke dalam agama Islam.
Penulis tutup pembahasan ini dengan sebuah kisah nyata tentang salah seorang da’i muda Ahlus Sunnah di sebuah kota di tanah air. Dengan usianya yang masih sangat hijau, dalam waktu singkat, sebagai pemain baru di kotanya, berkat taufik dari Allah ta’ala, dia telah bisa mengambil hati banyak masyarakat di kota tersebut. Bahkan pernah pada suatu momen, ia diundang untuk mengisi suatu acara kemasyarakatan di sebuah komunitas yang sebenarnya di situ banyak tokoh-tokoh agama senior. Tatkala berusaha menghindar dengan alasan banyak kyai di situ, orang yang mengundang menjawab, “Kalau yang mengisi pengajian kyai A, sebagian masyarakat tidak mau datang, dan kalau yang diundang kyai B, yang mau datang juga hanya sebagian. Tapi kalau yang mengisi panjenengan, mereka semua mau datang!”. Ketika penulis cermati, ternyata salah satu rahasia kecintaan masyarakat terhadap da’i tersebut: keramahannya kepada siapapun, apalagi terhadap orang-orang ‘kecil’. Dia menyapa tukang parkir, tukang sapu, orang tidak punya, bersalaman dengan mereka dan tidak segan-segan untuk bertanya tentang keadaan keluarga mereka dan anak-anaknya!
Badruddin Ibn Jama’ah (w. 723 H) menyebutkan bahwa di antara akhlak ulama, “Bermu’amalah dengan para manusia dengan akhlak mulia, seperti bermuka manis, menebar salam … berlemah lembut dengan kaum fakir, memperlihatkan kasih sayang terhadap tetangga dan kerabat …”.[11]
4. Santun dalam menyampaikan nasehat, sambil memperhatikan kondisi psikologis orang yang dinasehati.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam bersabda,
“وَالْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ”
“Ucapan yang baik adalah shadaqah”. HR. Bukhari (hal. 606 no. 2989) dan Muslim (VII/96 no. 2332).
Memilih kata-kata yang baik juga memperhatikan psikologis seseorang sangat menentukan keberhasilan dakwah seseorang. Penulis pernah diceritai saksi mata obrolan antara seorang ikhwan yang sudah ngaji dengan seorang awam yang sebelumnya tidak pernah saling bertemu. Orang awam tadi membuka obrolannya dengan kekagumannya akan perkembangan pembangunan fisik kota tempat mereka berdua tinggal yang begitu cepat dan maju. Namun ikhwan tadi langsung menukas, “Ya, itukan cuma lahiriahnya saja. Tapi kalau kita lihat jiwa-jiwa penduduknya, ternyata kosong dan rapuh!”. Begitu mendengar balasan lawan bicaranya, muka orang awam tadi langsung berubah dan terdiam.
Kita bukan sedang meragukan niat baik ikhwan tadi, namun tidakkah ada kata-kata yang lebih santun? Haruskah kita ‘menabrak’ langsung lawan bicara kita. Apakah itu justru tidak mengakibatkan dakwah kita sulit untuk diterima? Bukankah akan lebih enak didengar dan diterima jika ikuti alur pembicaraannya lalu secara perlahan kita arahkan kepada poin yang kita sampaikan?
Misalnya kita katakan pada orang awam tersebut, “Ya, memang pembangunan fisik kota kita ini memang amat membanggakan, dan ini amat bermanfaat untuk kesejahteraan ekonomi masyarakat. Namun alangkah indahnya jika pembangunan fisik tersebut diiringi pula dengan pembangunan mental masyarakat; sehingga timbul keseimbangan antara dua sisi tersebut”.
Kita bisa mengambil suri tauladan dari metode Nabi shallallahu’alaihiwasallam dalam menasehati para sahabatnya.
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ قَالَ إِنَّ فَتًى شَابًّا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: “يَا رَسُولَ اللَّهِ ائْذَنْ لِي بِالزِّنَا”، فَأَقْبَلَ الْقَوْمُ عَلَيْهِ فَزَجَرُوهُ قَالُوا: “مَهْ مَهْ”. فَقَالَ: “ادْنُهْ”، فَدَنَا مِنْهُ قَرِيبًا، قَالَ فَجَلَسَ، قَالَ: “أَتُحِبُّهُ لِأُمِّكَ؟”. قَالَ: “لَا وَاللَّهِ جَعَلَنِي اللَّهُ فِدَاءَكَ”. قَالَ: “وَلَا النَّاسُ يُحِبُّونَهُ لِأُمَّهَاتِهِمْ”. قَالَ: “أَفَتُحِبُّهُ لِابْنَتِكَ؟” قَالَ: “لَا وَاللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ جَعَلَنِي اللَّهُ فِدَاءَكَ” قَالَ: “وَلَا النَّاسُ يُحِبُّونَهُ لِبَنَاتِهِمْ” قَالَ: “أَفَتُحِبُّهُ لِأُخْتِكَ؟” قَالَ: “لَا وَاللَّهِ جَعَلَنِي اللَّهُ فِدَاءَكَ” قَالَ: “وَلَا النَّاسُ يُحِبُّونَهُ لِأَخَوَاتِهِمْ” قَالَ: “أَفَتُحِبُّهُ لِعَمَّتِكَ؟” قَالَ: “لَا وَاللَّهِ جَعَلَنِي اللَّهُ فِدَاءَكَ” قَالَ: “وَلَا النَّاسُ يُحِبُّونَهُ لِعَمَّاتِهِمْ” قَالَ: “أَفَتُحِبُّهُ لِخَالَتِكَ؟” قَالَ: “لَا وَاللَّهِ جَعَلَنِي اللَّهُ فِدَاءَكَ” قَالَ: “وَلَا النَّاسُ يُحِبُّونَهُ لِخَالَاتِهِمْ” قَالَ فَوَضَعَ يَدَهُ عَلَيْهِ وَقَالَ: “اللَّهُمَّ اغْفِرْ ذَنْبَهُ، وَطَهِّرْ قَلْبَهُ، وَحَصِّنْ فَرْجَهُ” فَلَمْ يَكُنْ بَعْدُ ذَلِكَ الْفَتَى يَلْتَفِتُ إِلَى شَيْءٍ.
Abu Umamah bercerita, “Suatu hari ada seorang pemuda yang mendatangi Nabishallallahu’alaihiwasallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah, izinkan aku berzina!”. Orang-orang pun bergegas mendatanginya dan menghardiknya, mereka berkata, “Diam kamu, diam!”. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam berkata, “Mendekatlah”. Pemuda tadi mendekati beliau dan duduk.
Nabi shallallahu’alaihiwasallam bertanya, “Relakah engkau jika ibumu dizinai orang lain?”.
“Tidak demi Allah wahai Rasul” sahut pemuda tersebut.
“Begitu pula orang lain tidak rela kalau ibu mereka dizinai”.
“Relakah engkau jika putrimu dizinai orang?”.
“Tidak demi Allah wahai Rasul!”.
“Begitu pula orang lain tidak rela jika putri mereka dizinai”.
“Relakah engkau jika saudari kandungmu dizinai?”.
“Tidak demi Allah wahai Rasul!”.
“Begitu pula orang lain tidak rela jika saudara perempuan mereka dizinai”.
“Relakah engkau jika bibi dari jalur bapakmu dizinai?”.
“Tidak demi Allah wahai Rasul!”.
“Begitu pula orang lain tidak rela jika bibi mereka dizinai”.
“Relakah engkau jika bibi dari jalur ibumu dizinai?”.
“Tidak demi Allah wahai Rasul!”.
“Begitu pula orang lain tidak rela jika bibi mereka dizinai”.
Lalu Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam meletakkan tangannya di dada pemuda tersebut sembari berkata, “Ya Allah, ampunilah kekhilafannya, sucikanlah hatinya dan jagalah kemaluannya”.
Setelah kejadian tersebut, pemuda itu tidak pernah lagi tertarik untuk berbuat zina”. HR. Ahmad (XXXVI/545 no. 22211) dan sanadnya dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani.[12]
Cermatilah bagaimana Nabi shallallahu’alaihiwasallam tidak langsung menyalahkan pemuda tadi. Namun dengan sabar beliau mengajak pemuda tadi untuk berpikir sambil beliau juga memperhatikan kondisi psikologisnya. Mungkin sebagian kalangan yang kurang paham menilai bahwa metode tersebut terlalu panjang dan bertele-tele. Namun lihatlah apa hasilnya? Memang jalan dakwah itu panjang dan membutuhkan kesabaran.
Tidak ada salahnya kita kembali memutar rekaman perjalanan hidup kita dahulu sebelum mengenal dakwah salaf dan proses perkenalan kita dengan manhaj yang penuh dengan berkah ini. Apakah dulu serta merta sekali diomongi, kita langsung meninggalkan keyakinan yang telah berpuluh tahun kita anut? Atau melalui proses panjang yang penuh dengan lika-liku?
Dengan merenungi masa lalu kelam sebelum mendapat hidayah, dan bahwasanya kita memperolehnya secara bertahap; kita akan terdorong untuk mendakwahi orang lain juga dengan hikmah, nasehat yang bijak, serta secara bertahap. Demikian keterangan yang disampaikan Syaikh as-Sa’dy ketika beliau menafsirkan firman Allah,
“كَذَلِكَ كُنتُم مِّن قَبْلُ فَمَنَّ اللّهُ عَلَيْكُمْ”.
Artinya: “Begitu pulalah keadaan kalian dahulu, lalu Allah melimpahkan nikmat-Nya pada kalian”.QS. An-Nisa: 94.[13]
Tidaklah mudah mengajak seseorang meninggalkan ideologi lamanya untuk menganut sebuah ideologi baru. Pertama kali buatlah ia ragu akan ideologi lamanya, lalu secara bertahap kita jelaskan keunggulan ideologi baru yang akan kita tawarkan padanya. Dengan berjalannya waktu, sedikit demi sedikit ideologi lama akan ditinggalkannya, kemudian beralih ke ideologi yang baru.
5. Bersifat pemaaf terhadap orang yang menyakiti dan membalas keburukan dengan kebaikan.
Allah ta’ala berfirman,
“خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ”.
Artinya: “Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan kebajikan, serta jangan pedulikan orang-orang jahil”. QS. Al-A’raf: 199.
Adapun potret praktek akhlak mulia ini dalam kehidupan Rasul shallallahu’alaihiwasallamamatlah banyak, baik dengan sesama muslim, maupun dengan para musuh beliau dari kalangan orang-orang kafir dan kaum musyrikin.
Di antara contoh jenis pertama, apa yang dikisahkan Anas bin Malik,
“كُنْتُ أَمْشِي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهِ بُرْدٌ نَجْرَانِيٌّ غَلِيظُ الْحَاشِيَةِ فَأَدْرَكَهُ أَعْرَابِيٌّ فَجَذَبَهُ جَذْبَةً شَدِيدَةً حَتَّى نَظَرْتُ إِلَى صَفْحَةِ عَاتِقِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أَثَّرَتْ بِهِ حَاشِيَةُ الرِّدَاءِ مِنْ شِدَّةِ جَذْبَتِهِ ثُمَّ قَالَ: “مُرْ لِي مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي عِنْدَكَ!” فَالْتَفَتَ إِلَيْهِ فَضَحِكَ ثُمَّ أَمَرَ لَهُ بِعَطَاءٍ”.
“Suatu hari aku berjalan bersama Nabi shallallahu’alaihiwasallam dan saat itu beliau berpakaian kain buatan Najran yang tepinya kasar. Tiba-tiba datanglah seorang Arab badui dari belakang dan menarik keras kain beliau, hingga aku melihat di pundaknya tergaris merah bekas kasarnya tarikan dia. Sembari berkata, “Berilah aku sebagian dari harta yang Allah berikan padamu!”. Beliaupun menengok kepadanya sembari tersenyum lalu memerintahkan agar ia diberi sebagian harta”. HR. Bukhari (hal. 642 no. 3149) dan Muslim (VII/147 no. 2426).
Contoh jenis kedua antara lain: apa yang dikisahkan Aisyah radhiyallahu’anha,
“أَنَّهَا قَالَتْ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ أَتَى عَلَيْكَ يَوْمٌ كَانَ أَشَدَّ مِنْ يَوْمِ أُحُدٍ؟ فَقَالَ: “لَقَدْ لَقِيتُ مِنْ قَوْمِكِ وَكَانَ أَشَدَّ مَا لَقِيتُ مِنْهُمْ يَوْمَ الْعَقَبَةِ؛ إِذْ عَرَضْتُ نَفْسِي عَلَى ابْنِ عَبْدِ يَالِيلَ بْنِ عَبْدِ كُلَالٍ فَلَمْ يُجِبْنِي إِلَى مَا أَرَدْتُ، فَانْطَلَقْتُ وَأَنَا مَهْمُومٌ عَلَى وَجْهِي فَلَمْ أَسْتَفِقْ إِلَّا بِقَرْنِ الثَّعَالِبِ، فَرَفَعْتُ رَأْسِي فَإِذَا أَنَا بِسَحَابَةٍ قَدْ أَظَلَّتْنِي فَنَظَرْتُ فَإِذَا فِيهَا جِبْرِيلُ فَنَادَانِي فَقَالَ: “إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ قَدْ سَمِعَ قَوْلَ قَوْمِكَ لَكَ وَمَا رُدُّوا عَلَيْكَ وَقَدْ بَعَثَ إِلَيْكَ مَلَكَ الْجِبَالِ لِتَأْمُرَهُ بِمَا شِئْتَ فِيهِمْ”. قَالَ فَنَادَانِي مَلَكُ الْجِبَالِ وَسَلَّمَ عَلَيَّ ثُمَّ قَالَ: “يَا مُحَمَّدُ إِنَّ اللَّهَ قَدْ سَمِعَ قَوْلَ قَوْمِكَ لَكَ وَأَنَا مَلَكُ الْجِبَالِ وَقَدْ بَعَثَنِي رَبُّكَ إِلَيْكَ لِتَأْمُرَنِي بِأَمْرِكَ فَمَا شِئْتَ، إِنْ شِئْتَ أَنْ أُطْبِقَ عَلَيْهِمْ الْأَخْشَبَيْنِ” فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “بَلْ أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ مِنْ أَصْلَابِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ وَحْدَهُ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا”.
“Suatu hari aku bertanya kepada Nabi shallallahu’alaihiwasallam, “Wahai Rasululllah, apakah engkau pernah melewati suatu hari yang lebih berat dibanding hari peperangan Uhud?”.
Beliau menjawab, “Aku telah menghadapi berbagai cobaan dari kaummu, dan cobaan yang paling kurasa berat adalah kejadian di hari Aqabah. Saat itu aku menawarkan dakwah kepada Ibn Abd Yâlil bin Abd Kulal, namun ia enggan menerimaku. Akupun pergi dalam keadaan amat sedih dan tidak tersadar melainkan tatkala sampai di Qarn ats-Tsa’âlib. Aku pun mendongakkan kepala, ternyata di atasku ada sebuah awan yang menaungiku. Kulihat di sana ada malaikat Jibril, ia memanggilku, “Sesungguhnya Allah telah mendengar ucapan kaummu dan bantahan mereka padamu. Allah telah mengirimkan untukmu malaikat gunung[14], supaya engkau memerintahkannya melakukan apa saja kepada mereka sesuai kehendakmu”. Malaikat gunung pun memanggilku dan mengucapkan salam lalu berkata, “Wahai Muhammad, jika engkau mau, akan kutimpakan dua gunung atas mereka!”. Nabi shallallahu’alaihiwasallam pun menjawab, “Justru aku berharap, semoga Allah berkenan menjadikan keturunan mereka generasi yang mau beribadah kepada Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya dengan suatu apapun”. HR. Muslim (XII/365 no. 4629).
Jalan dakwah merupakan jalan yang terjal yang dipenuhi onak dan duri. Apalagi mengajak manusia meninggalkan keyakinan-keyakinan keliru yang telah mendarah daging puluhan tahun dalam diri mereka. Pasti akan ada tantangan, berupa cemoohan, makian, atau bahkan mungkin bisa berupa serangan fisik, dari musuh-musuh dakwah. Ketika seorang da’i menghadapi semua halangan tadi dengan ketegaran dan kesabaran, tidak lupa diiringi dengan kelapangan dada, bahkan justru membalas keburukan dengan kebaikan; insyaAllahdengan berjalannya waktu, hati para ‘lawan’ dakwah akan luluh, atau minimal akan menyegani dakwah haq dan tidak mudah untuk melontarkan tuduhan-tuduhan miring. [15]
Biografi para ulama Islam penuh dengan contoh praktek sifat mulia ini. Penulis bawakan dua contoh dari kehidupan seorang ulama yang telah tersohor kekokohannya dalam mempertahankan prinsip dan ketegasannya dalam meluruskan penyimpangan sekte-sekte sesat. Beliau adalah Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah.
Contoh pertama: Suatu hari segerombolan ahlul bid’ah mencegat Ibn Taimiyah lalu mereka memukuli beliau ramai-ramai dan pergi. Tatkala kabar itu sampai ke telinga murid-murid dan para pendukung beliau, mereka pun bergegas datang kepadanya, untuk minta izin guna membalas dendam perbuatan jahat gerombolan ahlul bid’ah itu.
Namun Ibn Taimiyah melarang mereka, seraya berkata, “Kalian tidak boleh melakukan hal itu”.
“Perbuatan mereka pun juga tidak boleh didiamkan, kami sudah tidak tahan lagi!”, tukas mereka.
Ibn Taimiyah menimpali, “Hanya ada tiga kemungkinan; hak untuk balas dendam itu milikku, atau milik kalian, atau milik Allah. Seandainya hak untuk balas dendam itu adalah milikku maka aku telah memaafkan mereka! Jika hak itu adalah milik kalian, seandainya kalian tidak mau mendengar nasehatku dan fatwaku maka berbuatlah semau kalian! Andaikan hak itu adalah milik Allah, maka Dia yang akan membalas jika Dia berkehendak!”. [16]
Contoh kedua: Kisah makar ahlul bid’ah untuk menggantung Ibnu Taimiyyah.
Di antara penguasa yang mencintai dan mendukung dakwah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah adalah Sultan Muhammad Qalawun. Di suatu tahun Sultan Qalawun pergi berhaji ke baitullah. Selama dia melakukan ibadah haji pemerintahan diserahkan kepada salah seorang wakilnya: Sultan al-Muzhaffar Ruknuddin Piprus, yang kebetulan dia adalah murid salah satu tokoh sufi abad itu: Nashr al-Manbajy, dan al-Manbajy ini amat benci sekali terhadap Ibnu Taimiyah.
Tatkala Piprus mengambil tampuk pemerintahan, ahlul bid’ah pun segera menyusun makar agar pemerintah mengeluarkan surat perintah hukum mati Ibnu Taimiyah. Namun sebelum makar mereka berhasil, Sultan Qalawun keburu kembali dari haji.
Tatkala mendengar berita akan makar ahlul bid’ah tersebut, Sultan Qalawun pun marah besar dan memerintahkan bawahannya untuk menghukum mati para pelaku makar tersebut. Tatkala mendengar berita itu, Ibn Taimiyah bergegas datang ke Sultan Qalawun dan berkata, “Adapun saya maka telah memaafkan mereka semua”. Akhirnya Sultan pun memaafkan mereka.
Setelah peristiwa itu, salah seorang musuh besar Ibn Taimiyah: Zainuddin bin Makhluf pun berkata, “Tidak pernah kita mendapatkan orang setakwa Ibn Taimiyah! Setiap ada kesempatan untuk mencelakakannya kami berusaha untuk memanfaatkan kesempatan itu sebaik-baiknya. Namun tatkala dia memiliki kesempatan untuk membalas, malah dia memaafkan kami!”.[17]
Begitulah orang-orang berjiwa besar menyikapi kejahatan orang lain, dan lihatlah buahnya! Disegani lawan maupun kawan. Betapa banyak musuh bebuyutan yang berubah menjadi teman seperjuangan; berkat taufiq dari Allah dan ketulusan hati para da’i.
6. Menahan diri dari meminta-minta apa yang dimiliki orang lain.
Sifat ini lebih dikenal para ulama dengan istilah ‘iffah atau ‘afâf. Ini merupakan salah satu karakter para sahabat Nabi shallallahu’alaihiwasallam sebagaimana Allah ceritakan dalam al-Qur’an,
“يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاء مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُم بِسِيمَاهُمْ لاَ يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافاً “.
Artinya: “(Orang lain) yang tidak tahu menyangka bahwa mereka adalah orang-orang kaya; karena mereka menjaga diri (dari meminta-minta). Engkau (wahai Muhammad) mengenal mereka dari ciri-cirinya, mereka tidak meminta dengan cara mendesak kepada orang lain”. (QS. Al-Baqarah: 273).
Tidak heran andaikan mereka memiliki karakter mulia tersebut; sebab mereka melihat langsung Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam sendiri mempraktekkannya dan senantiasa memotivasi mereka untuk mempraktekkannya juga. Di antara nasehat yang beliau sampaikan: sabdanya,
“مَنْ يَسْتَعِفْ يُعِفَّهُ اللَّهُ، وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللَّهُ”.
“Barang siapa menjaga kehormatan dirinya (dengan tidak meminta-minta kepada manusia dan berambisi untuk memperoleh apa yang ada di tangan mereka) niscaya Allah akan menganugerahkan kepadanya iffah (kehormatan diri). Dan barang siapa merasa diri berkecukupan; niscaya Allah akan mencukupinya”. HR. Bukhari (hal. 283 no. 1427) dan Muslim (VII/145 no. 2421) dari Hakîm bin Hizâm.
Karakter pertama merupakan jalan pengantar menuju karakter kedua. Sebab barang siapa menjaga kehormatannya untuk tidak berambisi terhadap apa yang dimiliki orang lain; ia akan memperkuat ketergantungannya pada Allah, berharap dan berambisi terhadap karunia dan kebaikan Allah.[18]
Lantas apa korelasi antara bersifat ‘iffah dengan keberhasilan dakwah? Sekurang-kurangnya bisa ditinjau dari dua sisi:
Pertama: Orang yang menjaga diri dari meminta apa yang dimiliki orang lain, juga tidak silau dengan apa yang dimiliki orang lain; akan dicintai mereka. Sebab secara tabiat manusia tidak menyukai orang lain yang meminta-minta apa yang dimilikinya. Hal itu telah Rasulullahshallallahu’alaihiwasallam isyaratkan dalam nasehatnya untuk seseorang yang bertanya, “Wahai Rasulullah, beritahukan padaku suatu amalan yang jika kukerjakan; aku akan disayang Allah dan dicintai manusia!”. Beliaupun menjawab,
“ازْهَدْ فِي الدُّنْيَا يُحِبَّكَ اللَّهُ، وَازْهَدْ فِيمَا فِي أَيْدِي النَّاسِ يُحِبُّوكَ”.
“Bersifat zuhudlah di dunia; niscaya engkau akan disayang Allah. Dan bersikap zuhudlah dari apa yang ada di tangan manusia; niscaya mereka mencintaimu”. HR. Ibn Majah (IV/163 no. 4177) dari Sahl bin Sa’d as-Sâ’idy dan sanadnya dinilai hasan oleh Imam an-Nawawy[19].
Jika seorang da’i telah dicintai masyarakat, maka mereka akan lebih mudah untuk menerima dakwahnya.
Kedua: Orang yang memiliki sifat ‘afâf, ketika ia berdakwah, masyarakat akan menilai bahwa dakwahnya tersebut ikhlas karena Allah, bukan karena mengharapkan balasan duniawi dari mereka. Saat mereka merasakan ketulusan niat da’i tersebut; jelas -dengan izin Allah- mereka akan lebih mudah untuk menerima dakwahnya. Allah ta’ala berfirman,
“اتَّبِعُوا مَن لاَّ يَسْأَلُكُمْ أَجْراً وَهُم مُّهْتَدُونَ”.
Artinya: “Ikutilah orang yang tidak meminta imbalan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk”. QS. Yasin: 21.
Kiat menumbuhkan sifat ‘afâf
Sifat mulia ini memang cukup berat untuk ditumbuhkan dalam jiwa. Namun di sana ada kiat yang membantu kita untuk menumbuhkan karakter mulia dalam diri kita. Yaitu dengan melatih diri bersifat qona’ah yang berarti: menerima dan rela dengan berapapun yang diberikan Allahta’ala. Sebab sebenarnya sifat ‘afaf sendiri merupakan buah dari sifat qona’ah. [20]
Jika ada yang bertanya bagaimana cara membangun pribadi yang qona’ah? Jawabannya: dengan melatih diri menyadari seyakin-yakinnya bahwa rizki hanyalah di tangan Allah dan yang kita dapatkan telah dicatat Allah ta’ala, serta tidak mungkin melebihi apa yang telah ditentukan-Nya, walaupun kita pontang-panting dalam bekerja.
Catatan penting[21]
Ada tiga catatan penting di akhir makalah ini:
Pertama: Untuk merealisasikan akhlak mulia ini bukan berarti kita ‘melarutkan’ diri dalam ritual-ritual bid’ah yang ada di masyarakat dengan alasan penerapan akhlak mulia!
Kita bisa bermasyarakat tanpa harus larut mengikuti yasinan[22], tahlilan[23], maulidan atau acara-acara bid’ah lainnya. Caranya? Kita berusaha untuk berpartisipasi dalam acara-acara kemasyarakatan yang tidak mengandung unsur penyimpangan terhadap syariat, contohnya: kita bisa berpartisipasi dalam kerja bakti, pembuatan taman RT, kumpul bulanan RT, menjenguk tetangga yang sakit, mengantar jenazah ke pemakaman, membantu orang yang sedang ditimpa musibah, menebarkan salam, berbagi masakan ketika kita sedang memasak makanan yang enak, membantu membawakan barang belanjaan seseorang yang baru pulang dari pasar, membantu mendorong becak yang keberatan bawaan ketika dia menaiki jalan yang menanjak dan lain sebagainya.
Dengan berjalannya waktu, masyarakat akan paham bahwa ketidak ikutsertaan kita dalam ritual-ritual bid’ah bukan berarti karena kita sedang mengucilkan diri dari mereka, namun karena hal itu berkaitan dengan keyakinan yang ‘tidak ada tawar-menawar’ di dalamnya.
Kedua: Sebagian pihak ‘mengolok-olok’ beberapa da’i Ahlus Sunnah yang tidak jemu-jemunya menekankan pentingnya akhlak mulia, dengan mengatakan bahwa mereka telah tasyabbuh(menyerupai) salah satu kelompok ahlul bid’ah yang terkenal berkonsentrasi dalam membenahi akhlak umat namun mengabaikan pembenahan akidah.
Jawabannya:
  1. Barangkali pihak yang gemar ‘mengolok-olok’ itu lupa bahwa dakwah Ahlus Sunnah wal Jama’ah bukanlah dakwah yang hanya mengajak kepada akidah yang benar saja. Namun, dia juga merupakan dakwah yang mengajak kepada penerapan akhlak mulia dalam kehidupan sehari-hari; karena dakwah Ahlus Sunnah tidak lain adalah agama Islam yang dibawa Rasulullah r, di mana Islam memadukan antara akidah, ibadah dan akhlak. Imam Bisyr al-Hâfî rahimahullâh berkata, “Sunnah adalah Islam dan Islam adalah Sunnah”[24].
Syaikh Dr. Ibrâhîm bin ‘Âmir ar-Ruhailî hafizhahullâh menjelaskan, “Hendaklah diketahui bahwa Ahlus Sunnah sejati adalah mereka yang mengamalkan ajaran Islam secara sempurna, baik yang berkenaan dengan akidah maupun akhlak. Termasuk pemahaman yang keliru: prasangka bahwa sunni atau salafi adalah orang yang merealisasikan akidah Ahlus Sunnah saja tanpa memperhatikan sisi akhlak dan adab Islam, serta penunaian hak-hak kaum muslimin”[25].
  1. Seandainya ada sebagian ahlul bid’ah menonjol dalam pengamalan beberapa sisi syariat Islam, apakah kita akan mengabaikannya hanya karena mereka lebih terkenal dalam penerapannya?! Bukankah justru sebaliknya kita harus berusaha membenahi diri dengan menutupi kekurangan yang ada pada diri kita, sehingga kita benar-benar bisa menerapkan ajaran Ahlus Sunnah secara komprehensif dan bukan sepotong-sepotong?!
Ketiga: Mungkin pula ada sebagian pihak lain yang ketika ia merasa jenuh melihat kekurangan sebagian Ahlus Sunnah dalam penerapan akhlak islami, dia cenderung ‘menjauhi’ mereka dan memilih ‘bergabung’ dengan kelompok-kelompok ahlul bid’ah yang terkenal menonjol dalam sisi itu.
Sikap ini juga kurang tepat; karena justru yang benar seharusnya dia berusaha membenahi diri dengan ‘merenovasi’ akhlaknya yang kurang mulia, lalu berusaha terus menerus pantang mundur untuk menasehati saudara-saudaranya sesama Ahlus Sunnah guna memperbaiki akhlak mereka, bukan malah menjauh. Mari kita selesaikan suatu masalah dengan cara yang tidak menimbulkan masalah lain!
Penutup
Sebenarnya masih banyak contoh-contoh lain penerapan akhlak mulia yang akan membuahkan dampak positif bagi keberhasilan dakwah. Seperti bersifat amanah dalam segala sesuatu, termasuk dalam berbisnis, yang amat disayangkan mulai luntur, bahkan sampai di kalangan mereka yang sudah ngaji. Sehingga muncullah istilah “Bisnis afwan akhi!”[26], yang intinya adalah berbisnis tanpa mengindahkan etika-etikanya. Dan contoh-contoh lainnya yang dipandang perlu untuk disinggung. Namun karena keterbatasan waktulah, yang memaksa penulis untuk mencukupkan makalah ini sampai di sini. Semoga Allah berkenan mengaruniakan kelonggaran waktu di lain kesempatan, sehingga contoh-contoh lainnya tersebut bisa dikupas, amien.
Wallâhul muwaffiq ilâ aqwamith tharîq… Wa shallallahu ‘ala nabiyyina muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in…
@ Kedungwuluh Purbalingga, 13 Rajab 1431 / 25 Juni 2010
DAFTAR PUSTAKA:
  1. Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Darus Sunnah, 2007.
  2. 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah, karya Abdullah Zaen, Lc, Jogjakarta: Pustaka Muslim, cet II, 1429.
  3. Al-‘Uqûd ad-Durriyyah Min Manâqib Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah, karya Muhammad bin Ahmad bin Abdil Hadi, tahqiq Thal’at al-Hulwani, Kairo: al-Faruq al-Haditsah, cet I, 1422/2000.
  4. Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, karya Imam Ibn Katsir, tahqîq Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turky, Jaizah: Dar Hajar, cet I, 1419/1998.
  5. Ashnâf al-Mad’uwwîn wa Kaifiyyah Da’watihim, karya Prof. Dr. Hamud bin Ahmad ar-Ruhaily, Madinah: Maktabah al-’Ulum wa al-Hikam, cet II, 1424/2003.
  6. Bahjah an-Nâzhirîn Syarh Riyâdh ash-Shâlihîn, karya Syaikh Salim bin ‘Id al-Hilaly, Dammam: Dar Ibn al-Jauzy, cet IV, 1420/1999.
  7. Bahjah Qulûb al-Abrâr wa Qurrat ‘Uyûn al-Akhyâr fî Syarh Jawâmi’ al-Akhbâr, karya Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’dy, Riyadh: Wizarah asy-Syu’un al-Islamiyyah, cet I, 1422.
  8. It-hâf al-Khiyarah al-Maharah fî Ma’rifah Wasâ’il at-Tarbiyah al-Mu’atsirah karya Ummu Abdirrahman binti Ahmad al-Jaudar, Riyadh: Maktabah at-Taubah, cet I, 1419/1998.
  9. Jâmi’ at-Tirmidzy, karya Imam Muhammad bin Isa at-Tirmidzy, tahqîq ‘Adil Mursyid, Tha’if: Maktabah Dar al-Bayan al-Haditsah, cet I, 1422/2001.
  10. Madârij as-Sâlikîn baina Manâzil Iyyâka Na’budu wa Iyyâka Nasta’în, karya Imam Ibn al-Qayyim, tahqîq Muhammad Hamid al-Faqy, Beirut: Dar al-Kitab al-’Araby, cet II, 1393/1973.
  11. Majalah Nikah, vol. 8, no. 6, September-Oktober 2009 (hal. 82-83).
  12. Majmû’ Rasâil al-Hâfizh Ibn Rajab al-Hanbaly, oleh Imam Ibn Rajab al-Hanbaly, tahqîqtahqiq Thal’at al-Hulwani, Kairo: al-Faruq al-Haditsah, cet I, 1425/2004.
  13. Makârim al-Akhlâq fî Dhau’i al-Kitâb wa as-Sunnah, karya Syaikh Salim bin ‘Id al-Hilaly, Dammam: Dar Ibn al-Qayyim, cet I, 1421/2000.
  14. Munthalaqât ad-Da’wah wa Wasâ’il Nasyriha, karya Hamd Hasan Raqith, Beirut: Dar Ibn Hazm, cet I, 1420/1999.
  15. Musnad al-Imam Ahmad, karya Imam Ahmad bin Hanbal, tahqîq Syu’aib al-Arna’uth dkk, Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, cet I, 1420/1999.
  16. Mu’taqad Firaq al-Muslimîn wa al-Yahûd wa an-Nashârâ wa al-Falâsifah wa al-Watsaniyyîn fî al-Malâ’ikah al-Muqarrabîn karya Dr. Muhammad bin Abdil Wahhab al-’Aqîl, Riyadh: Adhwa’ as-Salaf, cet I, 1422/2002.
  17. Nashîhah li asy-Syabâb, karya Syaikh Dr. Ibrâhîm bin ‘Âmir ar-Ruhailî, (fotokopian).
  18. Riyâdh ash-Shâlihîn, karya Imam an-Nawawy, tahqîq Syaikh al-Albany, Beirut: al-Maktab al-Islamy, cet II, 1404/1984.
  19. Shahîh al-Bukhari, karya Imam Muhammad bin Isma’il al-Bukhary, Riyadh: Darussalam, cet I, 1417/1997.
  20. Shahîh Muslim, karya Imam Muslim, tahqîq Khalil Ma’mun Syiha, Beirut: Dar al-Ma’rifah, cet VI, 1420/1999.
  21. Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albâni, Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1415/1995.
  22. Sunan Abi Dawud, kara Imam Abu Dawud Sulaiman as-Sijistany, tahqîq ‘Izzat ‘Ubaid ad-Da’as dan ‘Adil as-Sayyid, Beirut: Dar Ibn Hazm, cet I, 1418/1997.
  23. Sunan Ibn Majah, karya Imam Muhammad bin Yazid al-Qazwiny, tahqîq Syaikh Ali bin Hasan al-Halaby, Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, cet I, 1419/1998.
  24. Syarh as-Sunnah, karya Imâm al-Barbâharî, tahqîq Syaikh Khâlid bin Qâsim ar-Raddâdî, Riyâdh: Dâr ash-Shumai’i, cet. III, 1421/2000.
  25. Syarh Shahîh Muslim, karya Imam an-Nawawy, tahqîq Khalil Ma’mun Syiha, Beirut: Dar al-Ma’rifah, cet VI, 1420/1999.
  26. Tadzkirah as-Sâmi’ wa al-Mutakallim fî Adab al-’Âlim wa al-Muta’allim, karya Badruddin Ibn Jamâ’ah al-Kinâny, tahqîq Abdussalam Umar Ali, Thantha: Dar adh-Dhiya’, cet I, 1423/2002.
  27. Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, karya Imam Abu Hayyân al-Andalûsi (w. 745 H), tahqîq ‘Âdil Ahmad Abdul Maujud dkk, Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, cet I, 1413/1993.
  28. Tafsîr as-Sa’dy yang berjudul Taisîr al-Karîm ar-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Mannân, karya Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’dy, Beirut: Mu’assasah ar-Risalah, cet I, 1420/1999.
  29. Tahdzîb Sîrah Ibn Hisyâm, karya Abdussalam Muhammad Harun, Kairo: Maktabah as-Sunnah, cet VI, 1409/1989.

[1] Lihat: Ikhtiyar al-Ûlâ fî Syarh Hadîts al-Mala’ al-A’lâ karya Imam Ibn Rajab, sebagaimana dalam Majmû’ Rasâ’il al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbaly (IV/44) dan Madârij as-Sâlikîn karya Imam Ibn al-Qayyim (II/318-319).
[2] Lihat: Munthalaqât ad-Da’wah wa Wasâ’il Nasyriha, karya Hamd Hasan Raqîth (hal. 97-99) dan Ashnâf al-Mad’uwwîn wa Kaifiyyah Da’watihim, karya Prof. Dr. Hamud bin Ahmad ar-Ruhaily (hal. 41).
[3] Lihat: It-hâf al-Khiyarah al-Maharah fî Ma’rifah Wasâ’il at-Tarbiyah al-Mu’atsirah karya Ummu Abdirrahman binti Ahmad al-Jaudar (hal. 14).
[4] Syarh Shahih Muslim karya Imam an-Nawawy (II/377).
[5] Lihat: Makârim al-Akhlâq fî Dhau’i al-Kitâb wa as-Sunnah karya Syaikh Salim al-Hilâly (hal. 39).
[6] Lihat: Riyâdh ash-Shâlihîn (hal. 146).
[7] Lihat: Al-Bidâyah wa an-Nihâyah karya Imam Ibn Katsir (VI/471-472).
[8] Lihat: Tafsîr al-Bahr al-Muhîth (VII/30).
[9] Penulis telah sedikit mengupas tentang permasalahan ini serta dampaknya yang amat signifikan untuk kemajuan dan perkembangan dakwah, dalam buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah (hal. 69-73).
[10] Lihat: Tahdzîb Sîrah Ibn Hisyâm oleh Abdussalam Harun (hal. 272-274).
[11] Tadzkirah as-Sâmi’ wa al-Mutakallim fî Adab al-’Âlim wa al-Muta’allim (hal. 96-97).
[12] Lihat: Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (I/713 no. 370).
[13] Lihat: Tafsîr as-Sa’dy (hal. 158).
[14] Apakah tugas yang Allah bebankan kepada malaikat ini? Wallahu a’lam penulis belum menemukan keterangan para ulama dalam masalah ini. Yang jelas ia ditugaskan Allah untuk melakukan apa yang berkenaan dengan gunung. Periksa: Mu’taqad Firaq al-Muslimîn wa al-Yahûd wa an-Nashârâ wa al-Falâsifah wa al-Watsaniyyîn fî al-Malâ’ikah al-Muqarrabîn karya Dr. Muhammad bin Abdil Wahhab al-’Aqîl (hal. 155).
[15] Cermati: Ashnâf al-Mad’uwwîn (hal. 54).
[16] Lihat: Al-’Uqûd ad-Durriyyah karya Ibn Abdil Hadi (hal. 224-225).
[17] Lihat: Ibid (hal. 221).
[18] Lihat: Bahjah Qulûb al-Abrâr karya Syaikh as-Sa’dy (hal. 78).
[19] Lihat: Riyâdh ash-Shâlihîn (hal. 216).
[20] Lihat: Bahjah an-Nâzhirîn karya Syaikh Salim al-Hilaly (I/583).
[21] Dinukil dari buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah (hal. 25-27).
[22] Untuk mengenal lebih lanjut hukum yasinan dipandang dari kacamata Islam, silahkan merujuk ke buku Yasinan karya Ust. Yazîd bin Abdul Qâdir Jawwâs, dan makalah Takhrîj Hadits-Hadits tentang Keutamaan Surat Yâsîn karya Ust. Dzulqarnain Sunûsi (dalam Majalah an-Nashîhah vol 06 hal 50-59).
[23] Untuk mengenal lebih lanjut hukum tahlilan dipandang dari kacamata Islam, silakan merujuk ke buku Santri NU Menggugat Tahlilan, karya Harry Yuniardi dan Hukum Tahlilan Menurut Empat Madzhab karya Ust Abdul Hakîm bin ‘Âmir ‘Abdât.
[24] Syarh as-Sunnah karya Imam al-Barbahârî (hal. 126).
[25] Nashîhah li asy-Syabâb (hal. 1).
[26] Lihat: Majalah Nikah, vol. 8, no. 6, September-Oktober 2009 (hal. 82-83).
Readmore...
sunnah

blog copas